Tampilkan postingan dengan label Ekonomi dan Bisnis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ekonomi dan Bisnis. Tampilkan semua postingan
Jumat, 12 Maret 2010
Bayan & Goldman teken kontrak batu bara
06.30 | Diposting oleh
Unknown
Bayan & Goldman teken kontrak batu bara
Oleh: Wisnu Wijaya
JAKARTA (Bisnis.com): Produsen tambang batu bara PT Bayan Resources Tbk (BYAN) memberikan jaminan perusahaan kepada J. Aron & Company, anak perusahaan Goldman Sachs Group Inc, untuk menjamin pelaksanaan kontrak penjualan dan pengiriman batu bara oleh anak perusahaan Bayan, PT Wahana Baratama Mining (WBM).
Label:
Ekonomi dan Bisnis
|
0
komentar
Saham sektor batubara tetap prospektif
06.21 | Diposting oleh
Unknown
Saham sektor batubara tetap prospektif
JAKARTA, kabarbisnis.com: PT CIMB Securities mempertahankan rating overweight untuk sektor batubara. Rating ini diambil setelah mengkaji hasil pertemuan dengan 42 investor di Kuala Lumpur, Singapore, dan Hong Kong.
Label:
Ekonomi dan Bisnis
|
0
komentar
INDY Gadaikan Saham Anak Usaha Demi Utang
06.10 | Diposting oleh
Unknown
JAKARTA. Aksi emiten menjaminkan saham anak usaha untuk mendapatkan pinjaman lazim terjadi di Bursa Efek Indonesia (BEI). Yang terbaru, PT Indika Energy Tbk (INDY) menjaminkan saham anak perusahaannya demi memperoleh pinjaman senilai US$ 595 juta dari Japan Bank for Internasional Cooperation (JBIC) dan Export-Import Bank of Korea (KEXIM).
Label:
Ekonomi dan Bisnis
|
0
komentar
Minggu, 20 Desember 2009
Memaksakan Diri untuk Perdagangan Bebas
20.01 | Diposting oleh
Unknown
DI tengah gempuran hebat produk China ke Tanah Air, Indonesia menegaskan tetap ikut memenuhi komitmen terlibat dalam Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN dan China mulai 1 Januari 2010. Itu berarti hanya dalam waktu sepuluh hari lagi, pasar kita bakal kian dikepung oleh produk China, baik tekstil, buah-buahan, bumbu masak, maupun mainan anak-anak.
Lalu, apa salahnya dengan produk China? Di sinilah persoalannya. Sudah bukan rahasia lagi, selama ini mutu produk China yang membanjiri pasar kita tidak jauh berbeda dengan produk dalam negeri, bahkan lebih buruk.
Produk China juga masih diragukan keamanannya bagi kesehatan. Selain itu, barang dari 'Negeri Tirai Bambu' itu kelewat murah sehingga produk dalam negeri kalah bersaing dan akhirnya mati.
Saat ini hampir semua jenis produk China melenggang bebas masuk ke negeri ini. Padahal, pada era 1970-an produk China yang diimpor hanya produk yang tidak bisa dibuat di Indonesia.
Dengan demikian, perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China amat jelas bakal lebih menguntungkan China daripada negara-negara ASEAN, dan sangat jelas terutama sangat merugikan Indonesia. Data resmi dari Badan Pusat Statistik menunjukkan saat ini saja ekspor kita ke China hanya 5,91%, sedangkan impornya mencapai 8,55%.
Kelak, ketika perdagangan bebas sudah dijalankan, diprediksi ekspor kita hanya naik 2,29% menjadi 8,20%. Tapi, sebaliknya impor kita dari China bakal naik 2,81% menjadi 11,37%.
Merebaknya pesimisme itu lebih disebabkan belum mantapnya industri dalam negeri. Industri kita masih dibebani rupa-rupa masalah yang menyebabkan daya saing kita rendah.
Infrastruktur yang buruk, suku bunga bank yang masih tinggi, kurs rupiah yang tidak stabil, serta birokrasi yang berbelit-belit dan korup, semua itu menyebabkan produk Indonesia tidak bisa berbicara banyak.
Kita tidak punya basis yang kuat masuk ke pasar China. Kita juga tidak punya daya tahan yang hebat untuk membendung serbuan produk China. Sejujurnya Indonesia memaksakan diri masuk implementasi perdagangan bebas ASEAN-China.
Belum terlambat bagi pemerintah untuk menegosiasikan kesepakatan itu. Dengan melihat masih compang-campingnya industri manufaktur kita, ada baiknya bila Indonesia menunda implementasi perdagangan bebas dengan China itu. Modal nekat yang hanya mengandalkan semangat menghormati perdagangan bebas sama saja dengan menyerahkan tubuh kita untuk digebuki hingga babak belur.
Sumber: http://www.mediaindonesia.com
Lalu, apa salahnya dengan produk China? Di sinilah persoalannya. Sudah bukan rahasia lagi, selama ini mutu produk China yang membanjiri pasar kita tidak jauh berbeda dengan produk dalam negeri, bahkan lebih buruk.
Produk China juga masih diragukan keamanannya bagi kesehatan. Selain itu, barang dari 'Negeri Tirai Bambu' itu kelewat murah sehingga produk dalam negeri kalah bersaing dan akhirnya mati.
Saat ini hampir semua jenis produk China melenggang bebas masuk ke negeri ini. Padahal, pada era 1970-an produk China yang diimpor hanya produk yang tidak bisa dibuat di Indonesia.
Dengan demikian, perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China amat jelas bakal lebih menguntungkan China daripada negara-negara ASEAN, dan sangat jelas terutama sangat merugikan Indonesia. Data resmi dari Badan Pusat Statistik menunjukkan saat ini saja ekspor kita ke China hanya 5,91%, sedangkan impornya mencapai 8,55%.
Kelak, ketika perdagangan bebas sudah dijalankan, diprediksi ekspor kita hanya naik 2,29% menjadi 8,20%. Tapi, sebaliknya impor kita dari China bakal naik 2,81% menjadi 11,37%.
Merebaknya pesimisme itu lebih disebabkan belum mantapnya industri dalam negeri. Industri kita masih dibebani rupa-rupa masalah yang menyebabkan daya saing kita rendah.
Infrastruktur yang buruk, suku bunga bank yang masih tinggi, kurs rupiah yang tidak stabil, serta birokrasi yang berbelit-belit dan korup, semua itu menyebabkan produk Indonesia tidak bisa berbicara banyak.
Kita tidak punya basis yang kuat masuk ke pasar China. Kita juga tidak punya daya tahan yang hebat untuk membendung serbuan produk China. Sejujurnya Indonesia memaksakan diri masuk implementasi perdagangan bebas ASEAN-China.
Belum terlambat bagi pemerintah untuk menegosiasikan kesepakatan itu. Dengan melihat masih compang-campingnya industri manufaktur kita, ada baiknya bila Indonesia menunda implementasi perdagangan bebas dengan China itu. Modal nekat yang hanya mengandalkan semangat menghormati perdagangan bebas sama saja dengan menyerahkan tubuh kita untuk digebuki hingga babak belur.
Sumber: http://www.mediaindonesia.com
Label:
Ekonomi dan Bisnis
|
0
komentar
Panitia Angket Century Harus Bekerja Sesuai Konstitusi
04.11 | Diposting oleh
Unknown
Magelang, (Analisa)
Panitia Angket Bank Century harus bekerja sesuai konstitusi dengan tidak merekomendasikan penonaktifan Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, kata Ketua DPR Marzuki Alie.
"Kita harus mengacu kepada konstitusi, saat ini sebaiknya proses pansus (panitia khusus,red.) itu dijalankan dulu," katanya usai pembukaan Musyawarah Nasional II Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (19-20 Desember 2009), di Temanggung, Sabtu.
Ia menyatakan, semua pihak yang terkait dengan kasus pencairan dana talangan kepada Bank Century dipanggil terlebih dahulu oleh Panitia Angket untuk didengarkan keterangannya. Kemungkinan, katanya, mereka diundang panitia hanya satu atau dua kali dan selanjutnya bisa melanjutkan tugas-tugasnya lagi.
Ia menyatakan, tidak ada aturan hukum tentang perlunya penonaktifan wapres dan menteri selama menjalani proses pemanggilan oleh dewan terutama terkait dengan kasus itu. "Kalau undang-undangnya tidak mengatur demikian, mengapa kita harus rekomendasikan (penonaktifan,red.)," katanya.
Ia mengatakan, keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak menonaktifkan Boediono dari jabatan wapres telah sesuai dengan Pasal 7 UUD 1945 tentang pengangkatan dan pemberhentian Presiden dan Wapres. Keputusan serupa untuk Sri Mulyani, katanya, juga sesuai dengan UU Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara. "Presiden menyampaikan dasarnya UUD, berdasarkan UU Kementerian Negara," katanya. (Ant)
Sumber: http://www.analisadaily.com
Panitia Angket Bank Century harus bekerja sesuai konstitusi dengan tidak merekomendasikan penonaktifan Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, kata Ketua DPR Marzuki Alie.
"Kita harus mengacu kepada konstitusi, saat ini sebaiknya proses pansus (panitia khusus,red.) itu dijalankan dulu," katanya usai pembukaan Musyawarah Nasional II Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (19-20 Desember 2009), di Temanggung, Sabtu.
Ia menyatakan, semua pihak yang terkait dengan kasus pencairan dana talangan kepada Bank Century dipanggil terlebih dahulu oleh Panitia Angket untuk didengarkan keterangannya. Kemungkinan, katanya, mereka diundang panitia hanya satu atau dua kali dan selanjutnya bisa melanjutkan tugas-tugasnya lagi.
Ia menyatakan, tidak ada aturan hukum tentang perlunya penonaktifan wapres dan menteri selama menjalani proses pemanggilan oleh dewan terutama terkait dengan kasus itu. "Kalau undang-undangnya tidak mengatur demikian, mengapa kita harus rekomendasikan (penonaktifan,red.)," katanya.
Ia mengatakan, keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak menonaktifkan Boediono dari jabatan wapres telah sesuai dengan Pasal 7 UUD 1945 tentang pengangkatan dan pemberhentian Presiden dan Wapres. Keputusan serupa untuk Sri Mulyani, katanya, juga sesuai dengan UU Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara. "Presiden menyampaikan dasarnya UUD, berdasarkan UU Kementerian Negara," katanya. (Ant)
Sumber: http://www.analisadaily.com
Label:
Ekonomi dan Bisnis
|
0
komentar
Sabtu, 28 November 2009
Bank Dunia melanggar standarnya sendiri membangun sektor kelapa sawit di Indonesia
07.57 | Diposting oleh
Unknown
Ditulis Oleh Redaksi SW Online
INFORMASI PRESS UNTUK DISIARKAN SEGERA
Cabang sektor swasta Bank Dunia – International Finance Corporation (IFC) – telah membiarkan kepentingan komersial menggantikan standar sosial dan lingkungan Bank Dunia dalam memberikan pinjaman kepada sektor kelapa sawit di Indonesia, sebuah audit internal mengungkapkan.
Kelapa sawit telah sama dengan pembabatan hutan dan lahan gambut dimana-mana, emisi CO2 besar-besaran dan pencurian tanah-tanah masyarakat adat.
Walaupun IFC tahu semua resiko tersebut, karena proyek-proyeknya yang terdahulu dan peringatan-peringatan dari organisasi-organisasi non pemerintah, IFC tetap meneruskan pinjamanan kepada Wilmar palm oil trading group, melanggar standar-standarnya sendiri, menurut laporan audit tersebut. IFC gagal menilai rantai pemasok (supply chains) atau melihat dampak merusak perkebunan-perkebunan anak perusahaan tersebut yang mengambil-alih tanah-tanah dan hutan di Kalimantan dan Sumatra.
Temuan-temuan tersebut memiliki beberapa implikasi bagi IFC: tidak hanya harus menerapkan standar-standarnya sendiri lebih berhati-hati tetapi IFC juga harus memeriksa kekawatiran soal darimana perusahaan-perusahaan yang IFC danai mendatangkan bahan-bahan baku mereka. Minyak sawit merupakan salah satu contoh komoditas yang diproduksi bertentangan dengan kaidah-kaidah.
Temuan-temuan ini bersumber dari laporan audit yang sangat penting dikeluarkan oleh Compliance Advisory Ombudsman dari IFC yang memeriksa satu laporan lengkap yang disampaikan oleh Forest Peoples Programme dan koalisi 19 organisasi masyarakat sipil Indonesia, termasuk Sawit Watch dan Gemawan.
Norman Jiwan dari NGO pemantau Indonesia, Sawit Watch, mencatat:
Ketika kami menyampaikan laporan kami mencatat bahwa anak-anak perusahaan Wilmar menggunakan api secara ilegal untuk membersihkan hutan primer dan kawasan bernilai konservasi tinggi dan merampas tanah-tanah masyarakat adat tanpa keputusan bebas, dididahulukan dan diinformasikan dari mereka, memicu konflik-konflik yang gawat. Laporan ini menunjukan bahwa IFC menggantikan standar-standarnya sendiri dan mengabaikan peringatan-peringatan kami terdahulu.
Dalam menanggapi laporan tersebut Lely Khairnur dari Gemawan mengatakan:
Pembangunan berarti mengutamakan kebutuhan dan hak-hak masyarakat lokal. Standar-standar IFC menwajibkan ini. Tetapi mereka mengedepankan kepentingan bisnis dan membiarkan tanah-tanah rakyat dirampas demi minyak sawit yang murah dalam pasar internasional. Masyarakat dan hutan milik mereka dirusak dengan semena-mena, dan akhirnya seluruh planet bumi menderita.
Marcus Colchester Direktur Forest Peoples Programme menambahkan:
Kami puas bahwa laporan audit ini membuktikan secara lengkap bahwa semua keprihatinan utama kami, juga tanggapan dari Manajemen IFC terhadap audit tersebut menyarankan mereka sekarang akan mencoba melakukan segala sesuatu dengan berbeda. Tetapi kami masih agak kecewa. Kami harus menunggu lebih dari lima tahun baru IFC menangani persoalan tersebut dengan sungguh-sungguh. Dengan mempertimbangkan pentingnya menghentikan kehancuran hutan dan pelanggaran hak asasi manusia, kami mendesak Presiden IFC untuk mengambil langkah-langkah pro-aktif untuk memastikan bahwa ini tidak akan pernah terjadi lagi.
Hubungi:
Marcus Colchester, Forest Peoples Programme: + 44 1608 652893
Norman Jiwan, Sawit Watch: + 62 251 8352171
Lely Khainur, Gemawan: + 62 8134 522 5232
Forest Peoples Programme,
1c Fosseway Business Centre, Stratford Road, Moreton-in-Marsh GL56 9NQ, UK
tel: +44 (0)1608 652893 fax: +44 (0)1608 652878 info@forestpeoples.orgAlamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya http://www.forestpeoples.org/
The Forest Peoples Programme is a company limited by guarantee (England & Wales) Reg. No. 3868836, registered address as above.
UK-registered Charity No. 1082158. It is also registered as a non-profit Stichting in the Netherlands.
Sawit Watch
Jl. Sempur Kaler No. 28
Bogor 16129
Phone: +62-251-8352171
Fax: +62-251-835204
Email: info@sawitwatch.or.idAlamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya
Lembaga Gemawan
Jl. Batas Pandang Kompleks Kelapa Hijau No. 18
Pontianak, Kalimantan Barat
Phone: +62561 586891
Fax: +62561 586891
Informasi lebih lanjut:
Laporan asli dan koresponden tindak-lanjut dengan IFC dan CAO lihat:
http://www.forestpeoples.org/documents/ifi_igo/ifc_wilmar_fpp_let_jul07_eng.pdf
http://www.forestpeoples.org/documents/prv_sector/bases/oil_palm.shtml
Laporan audit CAO lihat:
http://www.cao-ombudsman.org/uploads/case_documents/Combined%20Document%201_2_3_4_5_6_7.pdf
Technorati Tags: Bank Dunia, Kelapa sawit, Indonesia, Pelanggaran, Hukum, Penggundulan, Hutan, Global Warning 43 Things Tags: Bank Dunia, Kelapa sawit, Indonesia, Pelanggaran, Hukum, Penggundulan, Hutan, Global Warning
INFORMASI PRESS UNTUK DISIARKAN SEGERA
Cabang sektor swasta Bank Dunia – International Finance Corporation (IFC) – telah membiarkan kepentingan komersial menggantikan standar sosial dan lingkungan Bank Dunia dalam memberikan pinjaman kepada sektor kelapa sawit di Indonesia, sebuah audit internal mengungkapkan.
Kelapa sawit telah sama dengan pembabatan hutan dan lahan gambut dimana-mana, emisi CO2 besar-besaran dan pencurian tanah-tanah masyarakat adat.
Walaupun IFC tahu semua resiko tersebut, karena proyek-proyeknya yang terdahulu dan peringatan-peringatan dari organisasi-organisasi non pemerintah, IFC tetap meneruskan pinjamanan kepada Wilmar palm oil trading group, melanggar standar-standarnya sendiri, menurut laporan audit tersebut. IFC gagal menilai rantai pemasok (supply chains) atau melihat dampak merusak perkebunan-perkebunan anak perusahaan tersebut yang mengambil-alih tanah-tanah dan hutan di Kalimantan dan Sumatra.
Temuan-temuan tersebut memiliki beberapa implikasi bagi IFC: tidak hanya harus menerapkan standar-standarnya sendiri lebih berhati-hati tetapi IFC juga harus memeriksa kekawatiran soal darimana perusahaan-perusahaan yang IFC danai mendatangkan bahan-bahan baku mereka. Minyak sawit merupakan salah satu contoh komoditas yang diproduksi bertentangan dengan kaidah-kaidah.
Temuan-temuan ini bersumber dari laporan audit yang sangat penting dikeluarkan oleh Compliance Advisory Ombudsman dari IFC yang memeriksa satu laporan lengkap yang disampaikan oleh Forest Peoples Programme dan koalisi 19 organisasi masyarakat sipil Indonesia, termasuk Sawit Watch dan Gemawan.
Norman Jiwan dari NGO pemantau Indonesia, Sawit Watch, mencatat:
Ketika kami menyampaikan laporan kami mencatat bahwa anak-anak perusahaan Wilmar menggunakan api secara ilegal untuk membersihkan hutan primer dan kawasan bernilai konservasi tinggi dan merampas tanah-tanah masyarakat adat tanpa keputusan bebas, dididahulukan dan diinformasikan dari mereka, memicu konflik-konflik yang gawat. Laporan ini menunjukan bahwa IFC menggantikan standar-standarnya sendiri dan mengabaikan peringatan-peringatan kami terdahulu.
Dalam menanggapi laporan tersebut Lely Khairnur dari Gemawan mengatakan:
Pembangunan berarti mengutamakan kebutuhan dan hak-hak masyarakat lokal. Standar-standar IFC menwajibkan ini. Tetapi mereka mengedepankan kepentingan bisnis dan membiarkan tanah-tanah rakyat dirampas demi minyak sawit yang murah dalam pasar internasional. Masyarakat dan hutan milik mereka dirusak dengan semena-mena, dan akhirnya seluruh planet bumi menderita.
Marcus Colchester Direktur Forest Peoples Programme menambahkan:
Kami puas bahwa laporan audit ini membuktikan secara lengkap bahwa semua keprihatinan utama kami, juga tanggapan dari Manajemen IFC terhadap audit tersebut menyarankan mereka sekarang akan mencoba melakukan segala sesuatu dengan berbeda. Tetapi kami masih agak kecewa. Kami harus menunggu lebih dari lima tahun baru IFC menangani persoalan tersebut dengan sungguh-sungguh. Dengan mempertimbangkan pentingnya menghentikan kehancuran hutan dan pelanggaran hak asasi manusia, kami mendesak Presiden IFC untuk mengambil langkah-langkah pro-aktif untuk memastikan bahwa ini tidak akan pernah terjadi lagi.
Hubungi:
Marcus Colchester, Forest Peoples Programme: + 44 1608 652893
Norman Jiwan, Sawit Watch: + 62 251 8352171
Lely Khainur, Gemawan: + 62 8134 522 5232
Forest Peoples Programme,
1c Fosseway Business Centre, Stratford Road, Moreton-in-Marsh GL56 9NQ, UK
tel: +44 (0)1608 652893 fax: +44 (0)1608 652878 info@forestpeoples.orgAlamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya http://www.forestpeoples.org/
The Forest Peoples Programme is a company limited by guarantee (England & Wales) Reg. No. 3868836, registered address as above.
UK-registered Charity No. 1082158. It is also registered as a non-profit Stichting in the Netherlands.
Sawit Watch
Jl. Sempur Kaler No. 28
Bogor 16129
Phone: +62-251-8352171
Fax: +62-251-835204
Email: info@sawitwatch.or.idAlamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya
Lembaga Gemawan
Jl. Batas Pandang Kompleks Kelapa Hijau No. 18
Pontianak, Kalimantan Barat
Phone: +62561 586891
Fax: +62561 586891
Informasi lebih lanjut:
Laporan asli dan koresponden tindak-lanjut dengan IFC dan CAO lihat:
http://www.forestpeoples.org/documents/ifi_igo/ifc_wilmar_fpp_let_jul07_eng.pdf
http://www.forestpeoples.org/documents/prv_sector/bases/oil_palm.shtml
Laporan audit CAO lihat:
http://www.cao-ombudsman.org/uploads/case_documents/Combined%20Document%201_2_3_4_5_6_7.pdf
Technorati Tags: Bank Dunia, Kelapa sawit, Indonesia, Pelanggaran, Hukum, Penggundulan, Hutan, Global Warning 43 Things Tags: Bank Dunia, Kelapa sawit, Indonesia, Pelanggaran, Hukum, Penggundulan, Hutan, Global Warning
Rabu, 04 November 2009
Isu Moratorium Sawit dalam “Resolusi Pertemuan ke-7 RSPO Dicapai Lewat Pemungutan Suara”
07.46 | Diposting oleh
Unknown
“Resolusi Pertemuan ke-7 RSPO Dicapai Lewat Pemungutan Suara”
Ditulis Oleh Jefri G. Saragih
SIARAN PERS
PERKUMPULAN SAWIT WATCH
Pertemuan ke-7 Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang berlangsung di Kuala Lumpur, Malaysia, secara resmi ditutup pukul 18.00 waktu setempat. Sidang Umum yang dilakukan pada 4 November 2009 dan diikuti oleh semua anggota forum tersebut, berhasil mengeluarkan beberapa resolusi penting yang dicapai melalui perdebatan sengit dan berujung pada pemungutan suara.
Norman Jiwan, perwakilan Sawit Watch di Badan Pengawas RSPO, mengatakan salah satu resolusi yang berhasil disepakati oleh forum melalui pemungutan suara adalah penghentian segala aktiftas pembukaan kebun sawit di kawasan Taman Nasional Bukit 30 Jambi. Menurutnya usulan moratorium tadi berasal dari Sumatra Orang Utan Society yang mendapati 18 perusahaan perkebunan sawit melakukan pembukaan lahan kebun di kawasan lindung tersebut.
“ Ada 64 anggota RSPO menyetujui moratorium ketika dilakukan voting. Sebanyak 29 suara tidak setuju dan 58 suara abstain. Selain itu, resolusi lain yang dihasilkan melalui pemungutan suara adalah tindakan mitigasi emisi gas rumah kaca yang muncul akibat pembangunan kebun sawit di lahan gambut, “ tambah Norman.
Menanggapi hasil persidangan RSPO tentang petani plasma, Mansuetus Alsy Hanu, Ketua Forum Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengatakan, “ Hasil keputusan sidang umum RSPO yang menyatakan bahwa biaya sertifikat tandan buah segar dari kebun plasma akan dibiayai oleh perusahaan sawit, pastinya merupakan berita yang menyenangkan bagi petani sawit. Tapi proses sertifikasi dan pembiyaan tadi mesti dilakukan secara terbuka dan akuntabilitasnya dijamin, “ dia melanjutkan,” Sepatutnya pemerintah Indonesia bisa membuat perangkat hukum tentang proses dan pembiayaan sertifikasi ini agar aturan mainnya jadi jelas.”
Sementara itu Sapuan, warga desa Runtu, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah yang diundang menjadi peserta pertemuan mengatakan, “ Di sini, saya sudah bertemu dengan pemilik dan para petinggi perusahaan sawit yang telah merampas tanah saya. Mereka berjanji akan mengadakan perundingan yang adil untuk menyelesaikan persoalan itu dalam waktu dekat. Kalau tidak salah tanggalnya 14 November 2009. Namun bila persoalan perampasan lahan itu tidak selesai juga, saya akan menuntut perusahaan lewat banyak jalur, termasuk melalui RSPO ini.”
Banyak pihak berharap forum ini benar-benar bisa mengimplemantasikan Prinsip dan Kriterita serta Indikator penyelenggaraan kebun sawit yang berkelanjutan. Meski harus diakui pula ada sebagian kalangan yang ragu terhadap kemampuan dan kekuatan RSPO dalam menghormati hak asasi manusia dan menjaga keberlanjutan lingkungan.
Bagaimanapun RSPO tetaplah sebuah forum yang ramai dengan perdebatan sengit dan pemungutan suara para pemangku kepentingan yang berkepentingan dengan perkebunan sawit. Juga komitmen para anggotanya untuk menyelesaikan sengketa atau persoalan di seputar perkebunan dan minyak sawit.
Apakah komitmen itu bisa diwujudkan dalam kenyataan?
(Jefri Gideon Saragih)
LiveJournal Tags: Resolusi, Moratorium, Sawit, Lahan, Sengketa 43 Things Tags: Resolusi, Moratorium, Sawit, Lahan, Sengketa Technorati Tags: Resolusi, Moratorium, Sawit, Lahan, Sengketa
Ditulis Oleh Jefri G. Saragih
SIARAN PERS
PERKUMPULAN SAWIT WATCH
Pertemuan ke-7 Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang berlangsung di Kuala Lumpur, Malaysia, secara resmi ditutup pukul 18.00 waktu setempat. Sidang Umum yang dilakukan pada 4 November 2009 dan diikuti oleh semua anggota forum tersebut, berhasil mengeluarkan beberapa resolusi penting yang dicapai melalui perdebatan sengit dan berujung pada pemungutan suara.
Norman Jiwan, perwakilan Sawit Watch di Badan Pengawas RSPO, mengatakan salah satu resolusi yang berhasil disepakati oleh forum melalui pemungutan suara adalah penghentian segala aktiftas pembukaan kebun sawit di kawasan Taman Nasional Bukit 30 Jambi. Menurutnya usulan moratorium tadi berasal dari Sumatra Orang Utan Society yang mendapati 18 perusahaan perkebunan sawit melakukan pembukaan lahan kebun di kawasan lindung tersebut.
“ Ada 64 anggota RSPO menyetujui moratorium ketika dilakukan voting. Sebanyak 29 suara tidak setuju dan 58 suara abstain. Selain itu, resolusi lain yang dihasilkan melalui pemungutan suara adalah tindakan mitigasi emisi gas rumah kaca yang muncul akibat pembangunan kebun sawit di lahan gambut, “ tambah Norman.
Menanggapi hasil persidangan RSPO tentang petani plasma, Mansuetus Alsy Hanu, Ketua Forum Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengatakan, “ Hasil keputusan sidang umum RSPO yang menyatakan bahwa biaya sertifikat tandan buah segar dari kebun plasma akan dibiayai oleh perusahaan sawit, pastinya merupakan berita yang menyenangkan bagi petani sawit. Tapi proses sertifikasi dan pembiyaan tadi mesti dilakukan secara terbuka dan akuntabilitasnya dijamin, “ dia melanjutkan,” Sepatutnya pemerintah Indonesia bisa membuat perangkat hukum tentang proses dan pembiayaan sertifikasi ini agar aturan mainnya jadi jelas.”
Sementara itu Sapuan, warga desa Runtu, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah yang diundang menjadi peserta pertemuan mengatakan, “ Di sini, saya sudah bertemu dengan pemilik dan para petinggi perusahaan sawit yang telah merampas tanah saya. Mereka berjanji akan mengadakan perundingan yang adil untuk menyelesaikan persoalan itu dalam waktu dekat. Kalau tidak salah tanggalnya 14 November 2009. Namun bila persoalan perampasan lahan itu tidak selesai juga, saya akan menuntut perusahaan lewat banyak jalur, termasuk melalui RSPO ini.”
Banyak pihak berharap forum ini benar-benar bisa mengimplemantasikan Prinsip dan Kriterita serta Indikator penyelenggaraan kebun sawit yang berkelanjutan. Meski harus diakui pula ada sebagian kalangan yang ragu terhadap kemampuan dan kekuatan RSPO dalam menghormati hak asasi manusia dan menjaga keberlanjutan lingkungan.
Bagaimanapun RSPO tetaplah sebuah forum yang ramai dengan perdebatan sengit dan pemungutan suara para pemangku kepentingan yang berkepentingan dengan perkebunan sawit. Juga komitmen para anggotanya untuk menyelesaikan sengketa atau persoalan di seputar perkebunan dan minyak sawit.
Apakah komitmen itu bisa diwujudkan dalam kenyataan?
(Jefri Gideon Saragih)
LiveJournal Tags: Resolusi, Moratorium, Sawit, Lahan, Sengketa 43 Things Tags: Resolusi, Moratorium, Sawit, Lahan, Sengketa Technorati Tags: Resolusi, Moratorium, Sawit, Lahan, Sengketa
Jumat, 30 Oktober 2009
Sinyal Telkomsel Lemah , Di keluhkan Warga Satui
09.32 | Diposting oleh
Unknown
Tanah Bunbu - Sudah lebih satu minggu wargaSungai Danau (Sudan) sekitar merasa tidak nyaman lagi menggunakan telepon seluler Hand pond (Hp) pasal nya penguna layanan telkomsel di Kecamatan Satui pada saat mereka handak menggunakan untuk berhubungan dengan pengguna Hp lain nya selalu gagal padahal sinyal di layar ponsel nya terliat pul.
Jody (25) warga setempat kepada Barito Post menyampaikan kekecewaan nya dengan terganggunya layanandari operator seluler ini ," aduh mas saat ini saya sangat terganggu dengan macet-macet nya setiap saya menelpon temen-temen apa lagi ini menyangkut tentang pekerjaan yang harus saya laporkan kepada pimpinan,keluh pekerja tambang ini dengan muka sedikit cemberut.
Hal senda juga ditutur kan warga lain nya Herman (43) yang bermukim di lingkungan Rt 13 desa setempat ," ya kami saat ini kalau mau menghubungui ke nomor lain hanya bisa menggunakan layanan pesan singkat aja ( SMS ) sebab ketika kami mencoba untuk hubungan langsung tidak bisa ,terkadang kalau ada yang menghubungi ke nomor kita pun ngga ada suara yang terdengar dari orang yang menghubungi kita," ujar nya.
Di tambahkannya untuk sementara terpaksa kami beli no perdana dari operator lain ,dan kami pun sedikit repot juga di buat nya karena harus memberi kabar lagi kepeda temen-temen dan keluaga dengan pergantian nomor seluler saya ini," habis mau apa lagi mas kalau gangguan begini terus kan yang rugi kita - kita ini juga ", ungkap nya
.
Dari informasi yang di himpun Satuiku di lapangan gangguan sinyal operator seluler telkomsel selama kurang lebih satu minggu ini di rasakan sangat merugikan sebagian warga pengguna telpon seluler di Kecamatan Satui dan sekitar nya khusus nya yang memenpaat kan layanan kartu AS dan Simpati.(maulana)
Rabu, 21 Oktober 2009
Dinar dan Dirham VS Mata Uang Kertas (II), Emas dan Perak, Mata Uang Hakiki
07.23 | Diposting oleh
Unknown
HTI-Press. Sepanjang sejarah manusia aneka alat tukar telah digunakan, mulai dari yang paling sederhana seperti bahan makanan, kulit binatang, tembakau, logam kertas hingga manusia. Dari sekian banyak bentuk uang tersebut, emaslah yang paling banyak diminati. Hal ini karena dari sisi fisik emas memiliki keunggulan dari jenis mata lainnya, antara lain:
Pertama, emas lebih tahan lama dibandingkan komoditas lain termasuk dengan sejumlah jenis logam sendiri. Emas tidak dapat beroksidasi dengan mudah sehingga ia anti karat. Ia tetap stabil dan tahan dalam jangka waktu yang sangat panjang. Meski emas tenggelam ke dalam lautan bergaram misalnya namun ia tetap dalam bentuk aslinya dan tidak mengalami perubahan.[1] Emas yang telah diproduksi ratusan tahun silam nilainya sama dengan emas yang baru saja diproduksi. Tak heran jika emas merupakan sarana penyimpan kekayaan (store of value) yang paling baik. Bandingkan dengan komoditas lain seperti kertas meski dapat digunakan sebagai media tukar (medium of exchange) namun ia tidak dapat menyimpan kekayaan dalam waktu lama.[2]
Kedua, emas merupakan logam yang dapat dibagi-bagi (diversiblity) dalam ukuran kecil dan dapat dilebur kembali seperti semula. Dengan sifat tersebut ia dapat menjadi alat tukar yang dapat diubah menjadi sesuatu yang berguna kapan saja dengan tetap menjaga nilainya. Ia bisa menjadi perhiasan atau perkakas pada suatu hari dan dijadikan uang hari berikutnya.[3]
Ketiga, emas merupakan komoditas yang bernilai tinggi (luxury good). Komoditas tersebut memiliki nilai unit yang tinggi meski ukurannya kecil. Oleh karena itu seseorang hanya membutuhkan sedikit emas untuk melakukan transaksi barang dan jasa dalam ukuran besar. Nilai satu ounce emas misalnya setara dengan setengah ton lempeng besi.[4] Emas juga berbeda dengan mata uang kertas yang nilainya ditentukan oleh kekuatan hukum suatu negara dimana nilai intrinsiknya jauh di bawah nilai nominalnya. Nilai emas ditopang oleh fisiknya sendiri.
Keempat, emas termasuk komoditas yang dapat diterima secara luas (universally) oleh masyarakat dunia sebagai benda bernilai sekaligus dapat dijadikan sebagai alat tukar. Bandingkan misalnya dengan dolar AS, meski telah menjadi mata uang internasional, namun tetap saja ia kalah pamor dengan emas. Tidak semua orang di dunia ini mau menerima dolar sebagai alat transaksi apalagi ketika perekonomian AS mengalami ketidastabilan.
Kelima, emas bersifat langka. Ia tidak dapat diperoleh dengan mudah. Hal ini berbeda dengan uang kertas yang dengan mudah dapat diciptakan melalui mesin cetak. Apalagi dengan kecanggihan tehnologi percetakan yang terus berkembang membuat uang kertas begitu mudah untuk ditiru.[5]
Dengan keunggulan fisik tersebut tak heran jika emas dalam kurun waktu yang cukup lama baik di masa primitif maupun di masa modern telah dijadikan sebagai mata uang yang paling tangguh baik sebagai alat tukar (medium of transaction) maupun sebagai penyimpan kekayaan (store of value).
Keunggulan Moneter
Dari sisi moneter standar mata uang emas juga memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan standar mata uang kertas (fiat money), diantaranya:
Pertama, inflasi rendah dan terkendali. Dengan menerapkan mata uang emas, pemerintah suatu negara tidak dapat menambah pasokan uang dengan bebas. Akibatnya supply mata uang akan terkendali. Uang hanya bertambah seiring dengan bertambahnya cadangan emas negara. Dengan demikian inflasi yang diakibatkan oleh pertumbuhan uang sebagaimana pada sistem mata uang kertas (fiat money) tidak terjadi. Memang tak dapat dipungkiri bahwa inflasi bisa saja terjadi ketika ditemukan cadangan emas dalam jumlah besar. Namun keadaan tersebut merupakan sesuatu yang jarang terjadi dan orang yang memiliki emas tidak langsung melempar emasnya ke pasar.
Keampuhan mata uang mengendalikan inflasi telah dibuktikan oleh Jastram, (1980) seorang profesor dari University of California. Ia menyimpulkan bahwa tingkat inflasi pada standar emas (gold standard) paling rendah dari seluruh rezim moneter yang pernah diterapkan termasuk pada rezim mata uang kertas (fiat standard). Sebagai contoh dari tahun 1560 hingga 1914 indeks harga (price index) Inggris tetap konstan dimana inflasi dan deflasi nyaris tidak ada. Demikian pula tingkat harga di AS pada tahun 1930 sama dengan tingkat harga pada tahun 1800.
Kedua, di dalam rezim standar emas, nilai tukar antar negara relatif stabil sebab mata uang masing-masing negara tersebut dsandarkan pada emas yang nilainya stabil. Pertukaran antara mata uang yang dijamin oleh emas dengan mata uang kertas negara lain yang tidak dijaminan emas juga tidak menjadi masalah. Hal ini karena nilai mata uang yang dijamin emas tersebut ditentukan oleh seberapa besar mata uang kertas tadi menghargai emas. Nilai emas memang bisa naik atau turun berdasarkan permintaan dan penawaran, namun ketika emas dijadikan uang maka masing-masing negara akan menjaga cadangan emas mereka. Dengan demikian supply mata uang akan relatif stabil sehingga nilainya pun stabil.
Ketiga, kestabilan nilai tukar membuat transaksi perdagangan barang dan jasa (seperti traveling), transaksi modal dapat berjalan dengan lancar dan stabil. Nilai transaki di masa yang akan datang dapat diprediksi lebih akurat sebab nilai tukar mata uang relatif stabil. Seorang importir dapat melakukan pemesanan barang di masa mendatang tanpa perlu melakukan lindung nilai tukar (hedging). Demikian pula seorang eksportir dapat melakukan ekspansi usaha tanpa perlu khawatir di masa akan datang nilai ekspor akan terganggu akibat nilai tukar yang tidak stabil. Dengan demikian standar emas melindungi pelaku ekonomi dari miskalkulasi kegiatan ekonomi (economic miscalculation) yang merupakan penyakit mata uang kertas (fiat money).
Demikian pula kestabilan mata uang emas membuat nilai utang luar negeri baik dalam jangka panjang ataupun pendek, juga relatif stabil. Hal ini karena perubahan kurs yang fluktuatif tidak terjadi sebagaimana dalam standar mata uang kertas. Bandingkan misalnya saat ini ada sekitar 22 miliar dolar utang Indonesia yang jatuh tempo pada tahun 2009 dengan asumsi kurs APBN Rp. 9100/dolar. Jika nila rupiah berada pada angka Rp 12.000/dolar seperti rerata belakangan ini, maka tambahan utang akibat perubahan kurs tersebut naik sebesar Rp. 55 triliun. Angka yang cukup besar.
Iklim yang stabil tersebut menjadikan kegiatan perdagangan meningkat dengan drastis. Keunikan ini telah dibuktikan oleh Taylor seorang peneliti IMF yang menyimpulkan bahwa sepanjang sejarah implementasinya, standar emas telah memberikan kestabilan nilai tukar. Dampaknya, transaksi perdagangan tumbuh dengan pesat.[6]
Keempat, standar emas memiliki mekanisme untuk menjaga neraca pembayaran setiap negara agar tetap dalam keadaan equilibrium. Mekanisme yang dipopulerkan oleh David Hume (1711-1776) pada abad ke-18 tersebut disebut mekanisme price-specie-flow adjusment. Proses mekanisme tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Jika suatu negara, Indonesia misalnya meningkatkan supply uang kertasnya yang dibacking emas maka inflasi di negara tersebut akan naik yakni harga-harga secara umum lebih mahal. Tingginya harga-harga di dalam negeri dibandingkan harga-harga di luar negeri seperti Malaysia menyebabkan ekspor menurun akibat harganya yang kurang kompetitif. Pada yang sama impor meningkat karena reatif lebih murah. Akibatnya Indonesia mengalami defisit neraca pembayaran (balance of payment). Defisit ini kemudian dibayar dengan penyerahan emas kepada Malaysia. Dengan mengalirnya emas tersebut menyebabkan harga barang di Indonesia kembali turun sehingga lebih murah dari sebelumnya. Ekspor pun meningkat sebaliknya impor menurun. Dengan demikian defisit neraca pembayaran Indonesia terkoreksi dengan sendirinya (automatic adjustment).[7]
Menjawab Keberatan
Sejumlah kalangan mempertanyakan kehandalan mata uang emas mulai dari tataran teknis, ekonomis, politis hingga yang bertaraf ideologis. Salah satu keberatan yang cukup dominan adalah apakah persediaan emas cukup jika dikonversikan dengan jumlah uang yang beredar seperti di Indonesia atau bahkan di dunia?
Secara singkat, ada beberapa argumen yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Saat ini diperkirakan jumlah emas dipermukaan bumi yang telah diproduksi mencapai 5 miliar ons. Di sisi lain jumlah uang yang beredar baik berupa uang kartal (uang kertas dan koin) ditambah dengan uang giral (bank deposits) atau dikenal dengan M1 nilainya sekitar 30 triliun dolar. Jika harga emas saat ini USD 6,000/ons, maka nilai supply emas tersebut cukup untuk menggantikan peran uang kertas. Untuk membeli barang seharga 1 dolar misalnya cukup dengan 0,0002 oz emas.[8]
Belum lagi ketika perak juga dijadikan sebagai mata uang resmi yang di dalam Islam dikenal dengan istilah dirham, ketersedian uang untuk kegiatan ekonomi akan sangat memadai. Untuk menutupi kebutuhan transaksi yang nilainya lebih kecil, cukup diatasi dengan pencetakan dirham dalam berbagai ukuran. Larangan menimbun emas dan perak (kanz/hoarding) sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Islam menjadi sangat relevan agar perputaran emas dan perak sebagai uang terus berjalan.
Alasan lain adalah dalam standar emas pertumbuhan supply uang bergerak secara bebas seiring dengan pertambahan dan penyusutan jumlah emas. Nilai mata uang emas secara alamiah menentukan berapa besar daya beli yang dikandungnya terhadap barang dan jasa yang ada (purchasing power). Tidak menjadi masalah apakah nilai kekayaan direpresentasikan dengan unit uang yang besar atau kecil, banyak atau sedikit. Sebab yang penting adalah uang tersebut memiliki daya beli yang tinggi. Justru yang menjadi masalah adalah ketika jumlah unit uang terus bertambah, sementara nilai kekayaan secara riil tidak bertambah bahkan merosot. Hal ini karena daya beli uang (purchasing power) akan terus merosot akibat digerogoti inflasi. Tidak terasa semakin lama, makin banyak jumlah uang yang dibutuhkan untuk membeli barang yang sama.[9]
Di sisi lain sebagaimana yang dinyatakan oleh Meera, bahwa ketika sejumlah negara telah menggunakan emas sebagai alat tukar dan menjalin kerjasama dengan efektif, maka jumlah uang yang dibutuhkan sebenarnya tidak terlalu besar dari yang dibayangkan. Sebagai contoh, ketika nilai ekspor Indonesia selama setahun ke Malaysia sebesar Rp 10 triliun dan masa yang sama mengimpor dari negara tersebut sebesar Rp 9 triliun, maka uang emas yang dibutuhkan secara riil bukan 19 triliun namun hanya 1 triliun (Rp 10 triliun-Rp 9 triliun). Semakin banyak negara yang bekerjasama maka kebutuhan emas akan semakin sedikit. Transaksi emas lintas negara dapat difasilitasi dengan pendirian semacam Bank Kustodian yang mencatatat pergerakan ekspor dan impor masing-masing negara sekaligus dapat difungsikan sebagai penyimpan stok cadangan emas. Emas hanya ditransfer kedalam kurun waktu tertentu, misalnya setiap akhir tahun.
Hal lain yang patut dicatat bahwa besarnya nilai transaksi perdagangan dewasa ini lebih banyak yang bergerak di sektor non riil daripada di sektor riil sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya. Saat ini misalnya total obligasi yang diperdagangkan di dunia mencapai 45 triliun dollar, saham sebesar 51 triliun dollar dan pasar derivatif diperkirakan sebesar 480 triliun dollar. Nilainya setara dengan 30 kali ukuran ekonomi AS atau 12 kali ukuran ekonomi dunia.[10] Tentu uang yang bergerak pada sektor tersebut tak perlu ada ketika negara melarang transaksi yang bersifat spekulatif sebagaimana yang berkembang pada sistem kapitalisme saat ini.
Walhasil menolak mata uang emas dan terus mempertahankan mata uang kertas, hanyalah bentuk pengingkaran terhadap kebenaran faktual akan keunggulan emas dan perak. Disamping tentunya sikap tersebut merupakan pengabaian terhadap kewajiban yang telah ditetapakan oleh Allah swt dan Rasul-Nya.bersambung (Muhammad Ishak, Lajnah Tsaqafiyah)
[1] Ahamed Kameel Mydin Meera, Theft of Nations Returning to Gold, Pelanduk Publications. 2004. hal. 72
[2] Jack Weatherford, Sejarah Uang, Bentang Pustaka. 2005, hal. 16
[3] Glyn Davies, History of Money from Ancient Times to the Present Day.2006
[4] Alan Grenspan, Gold and Economic Freedom. 1966. http://www.gold-eagle.com/greenspan041998.html
[5] Ahamed Kameel, op cit. hal.72
[6] Alan Taylor. Global Finance: Past and Present. Finance and Development, IMF. 2004
[7] Murray N. Rothbard, What has Government do with our money?1990
[8] Hasil diskusi penulis dengan Robert Blumen, kolumnis moneter di Ludwidg Van Moses Institute dan pegiat gold coin standard.
[9] Hans F. Sennholz, No Shortage of Gold. The Freeman Vol. 23 No. 9. September 1973
[10] Adnan Khan. The Global Credit Crunch dan The Crisis of Capitalism, hal 25
Sumber : http://hizbut-tahrir.or.id
Pertama, emas lebih tahan lama dibandingkan komoditas lain termasuk dengan sejumlah jenis logam sendiri. Emas tidak dapat beroksidasi dengan mudah sehingga ia anti karat. Ia tetap stabil dan tahan dalam jangka waktu yang sangat panjang. Meski emas tenggelam ke dalam lautan bergaram misalnya namun ia tetap dalam bentuk aslinya dan tidak mengalami perubahan.[1] Emas yang telah diproduksi ratusan tahun silam nilainya sama dengan emas yang baru saja diproduksi. Tak heran jika emas merupakan sarana penyimpan kekayaan (store of value) yang paling baik. Bandingkan dengan komoditas lain seperti kertas meski dapat digunakan sebagai media tukar (medium of exchange) namun ia tidak dapat menyimpan kekayaan dalam waktu lama.[2]
Kedua, emas merupakan logam yang dapat dibagi-bagi (diversiblity) dalam ukuran kecil dan dapat dilebur kembali seperti semula. Dengan sifat tersebut ia dapat menjadi alat tukar yang dapat diubah menjadi sesuatu yang berguna kapan saja dengan tetap menjaga nilainya. Ia bisa menjadi perhiasan atau perkakas pada suatu hari dan dijadikan uang hari berikutnya.[3]
Ketiga, emas merupakan komoditas yang bernilai tinggi (luxury good). Komoditas tersebut memiliki nilai unit yang tinggi meski ukurannya kecil. Oleh karena itu seseorang hanya membutuhkan sedikit emas untuk melakukan transaksi barang dan jasa dalam ukuran besar. Nilai satu ounce emas misalnya setara dengan setengah ton lempeng besi.[4] Emas juga berbeda dengan mata uang kertas yang nilainya ditentukan oleh kekuatan hukum suatu negara dimana nilai intrinsiknya jauh di bawah nilai nominalnya. Nilai emas ditopang oleh fisiknya sendiri.
Keempat, emas termasuk komoditas yang dapat diterima secara luas (universally) oleh masyarakat dunia sebagai benda bernilai sekaligus dapat dijadikan sebagai alat tukar. Bandingkan misalnya dengan dolar AS, meski telah menjadi mata uang internasional, namun tetap saja ia kalah pamor dengan emas. Tidak semua orang di dunia ini mau menerima dolar sebagai alat transaksi apalagi ketika perekonomian AS mengalami ketidastabilan.
Kelima, emas bersifat langka. Ia tidak dapat diperoleh dengan mudah. Hal ini berbeda dengan uang kertas yang dengan mudah dapat diciptakan melalui mesin cetak. Apalagi dengan kecanggihan tehnologi percetakan yang terus berkembang membuat uang kertas begitu mudah untuk ditiru.[5]
Dengan keunggulan fisik tersebut tak heran jika emas dalam kurun waktu yang cukup lama baik di masa primitif maupun di masa modern telah dijadikan sebagai mata uang yang paling tangguh baik sebagai alat tukar (medium of transaction) maupun sebagai penyimpan kekayaan (store of value).
Keunggulan Moneter
Dari sisi moneter standar mata uang emas juga memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan standar mata uang kertas (fiat money), diantaranya:
Pertama, inflasi rendah dan terkendali. Dengan menerapkan mata uang emas, pemerintah suatu negara tidak dapat menambah pasokan uang dengan bebas. Akibatnya supply mata uang akan terkendali. Uang hanya bertambah seiring dengan bertambahnya cadangan emas negara. Dengan demikian inflasi yang diakibatkan oleh pertumbuhan uang sebagaimana pada sistem mata uang kertas (fiat money) tidak terjadi. Memang tak dapat dipungkiri bahwa inflasi bisa saja terjadi ketika ditemukan cadangan emas dalam jumlah besar. Namun keadaan tersebut merupakan sesuatu yang jarang terjadi dan orang yang memiliki emas tidak langsung melempar emasnya ke pasar.
Keampuhan mata uang mengendalikan inflasi telah dibuktikan oleh Jastram, (1980) seorang profesor dari University of California. Ia menyimpulkan bahwa tingkat inflasi pada standar emas (gold standard) paling rendah dari seluruh rezim moneter yang pernah diterapkan termasuk pada rezim mata uang kertas (fiat standard). Sebagai contoh dari tahun 1560 hingga 1914 indeks harga (price index) Inggris tetap konstan dimana inflasi dan deflasi nyaris tidak ada. Demikian pula tingkat harga di AS pada tahun 1930 sama dengan tingkat harga pada tahun 1800.
Kedua, di dalam rezim standar emas, nilai tukar antar negara relatif stabil sebab mata uang masing-masing negara tersebut dsandarkan pada emas yang nilainya stabil. Pertukaran antara mata uang yang dijamin oleh emas dengan mata uang kertas negara lain yang tidak dijaminan emas juga tidak menjadi masalah. Hal ini karena nilai mata uang yang dijamin emas tersebut ditentukan oleh seberapa besar mata uang kertas tadi menghargai emas. Nilai emas memang bisa naik atau turun berdasarkan permintaan dan penawaran, namun ketika emas dijadikan uang maka masing-masing negara akan menjaga cadangan emas mereka. Dengan demikian supply mata uang akan relatif stabil sehingga nilainya pun stabil.
Ketiga, kestabilan nilai tukar membuat transaksi perdagangan barang dan jasa (seperti traveling), transaksi modal dapat berjalan dengan lancar dan stabil. Nilai transaki di masa yang akan datang dapat diprediksi lebih akurat sebab nilai tukar mata uang relatif stabil. Seorang importir dapat melakukan pemesanan barang di masa mendatang tanpa perlu melakukan lindung nilai tukar (hedging). Demikian pula seorang eksportir dapat melakukan ekspansi usaha tanpa perlu khawatir di masa akan datang nilai ekspor akan terganggu akibat nilai tukar yang tidak stabil. Dengan demikian standar emas melindungi pelaku ekonomi dari miskalkulasi kegiatan ekonomi (economic miscalculation) yang merupakan penyakit mata uang kertas (fiat money).
Demikian pula kestabilan mata uang emas membuat nilai utang luar negeri baik dalam jangka panjang ataupun pendek, juga relatif stabil. Hal ini karena perubahan kurs yang fluktuatif tidak terjadi sebagaimana dalam standar mata uang kertas. Bandingkan misalnya saat ini ada sekitar 22 miliar dolar utang Indonesia yang jatuh tempo pada tahun 2009 dengan asumsi kurs APBN Rp. 9100/dolar. Jika nila rupiah berada pada angka Rp 12.000/dolar seperti rerata belakangan ini, maka tambahan utang akibat perubahan kurs tersebut naik sebesar Rp. 55 triliun. Angka yang cukup besar.
Iklim yang stabil tersebut menjadikan kegiatan perdagangan meningkat dengan drastis. Keunikan ini telah dibuktikan oleh Taylor seorang peneliti IMF yang menyimpulkan bahwa sepanjang sejarah implementasinya, standar emas telah memberikan kestabilan nilai tukar. Dampaknya, transaksi perdagangan tumbuh dengan pesat.[6]
Keempat, standar emas memiliki mekanisme untuk menjaga neraca pembayaran setiap negara agar tetap dalam keadaan equilibrium. Mekanisme yang dipopulerkan oleh David Hume (1711-1776) pada abad ke-18 tersebut disebut mekanisme price-specie-flow adjusment. Proses mekanisme tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Jika suatu negara, Indonesia misalnya meningkatkan supply uang kertasnya yang dibacking emas maka inflasi di negara tersebut akan naik yakni harga-harga secara umum lebih mahal. Tingginya harga-harga di dalam negeri dibandingkan harga-harga di luar negeri seperti Malaysia menyebabkan ekspor menurun akibat harganya yang kurang kompetitif. Pada yang sama impor meningkat karena reatif lebih murah. Akibatnya Indonesia mengalami defisit neraca pembayaran (balance of payment). Defisit ini kemudian dibayar dengan penyerahan emas kepada Malaysia. Dengan mengalirnya emas tersebut menyebabkan harga barang di Indonesia kembali turun sehingga lebih murah dari sebelumnya. Ekspor pun meningkat sebaliknya impor menurun. Dengan demikian defisit neraca pembayaran Indonesia terkoreksi dengan sendirinya (automatic adjustment).[7]
Menjawab Keberatan
Sejumlah kalangan mempertanyakan kehandalan mata uang emas mulai dari tataran teknis, ekonomis, politis hingga yang bertaraf ideologis. Salah satu keberatan yang cukup dominan adalah apakah persediaan emas cukup jika dikonversikan dengan jumlah uang yang beredar seperti di Indonesia atau bahkan di dunia?
Secara singkat, ada beberapa argumen yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Saat ini diperkirakan jumlah emas dipermukaan bumi yang telah diproduksi mencapai 5 miliar ons. Di sisi lain jumlah uang yang beredar baik berupa uang kartal (uang kertas dan koin) ditambah dengan uang giral (bank deposits) atau dikenal dengan M1 nilainya sekitar 30 triliun dolar. Jika harga emas saat ini USD 6,000/ons, maka nilai supply emas tersebut cukup untuk menggantikan peran uang kertas. Untuk membeli barang seharga 1 dolar misalnya cukup dengan 0,0002 oz emas.[8]
Belum lagi ketika perak juga dijadikan sebagai mata uang resmi yang di dalam Islam dikenal dengan istilah dirham, ketersedian uang untuk kegiatan ekonomi akan sangat memadai. Untuk menutupi kebutuhan transaksi yang nilainya lebih kecil, cukup diatasi dengan pencetakan dirham dalam berbagai ukuran. Larangan menimbun emas dan perak (kanz/hoarding) sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Islam menjadi sangat relevan agar perputaran emas dan perak sebagai uang terus berjalan.
Alasan lain adalah dalam standar emas pertumbuhan supply uang bergerak secara bebas seiring dengan pertambahan dan penyusutan jumlah emas. Nilai mata uang emas secara alamiah menentukan berapa besar daya beli yang dikandungnya terhadap barang dan jasa yang ada (purchasing power). Tidak menjadi masalah apakah nilai kekayaan direpresentasikan dengan unit uang yang besar atau kecil, banyak atau sedikit. Sebab yang penting adalah uang tersebut memiliki daya beli yang tinggi. Justru yang menjadi masalah adalah ketika jumlah unit uang terus bertambah, sementara nilai kekayaan secara riil tidak bertambah bahkan merosot. Hal ini karena daya beli uang (purchasing power) akan terus merosot akibat digerogoti inflasi. Tidak terasa semakin lama, makin banyak jumlah uang yang dibutuhkan untuk membeli barang yang sama.[9]
Di sisi lain sebagaimana yang dinyatakan oleh Meera, bahwa ketika sejumlah negara telah menggunakan emas sebagai alat tukar dan menjalin kerjasama dengan efektif, maka jumlah uang yang dibutuhkan sebenarnya tidak terlalu besar dari yang dibayangkan. Sebagai contoh, ketika nilai ekspor Indonesia selama setahun ke Malaysia sebesar Rp 10 triliun dan masa yang sama mengimpor dari negara tersebut sebesar Rp 9 triliun, maka uang emas yang dibutuhkan secara riil bukan 19 triliun namun hanya 1 triliun (Rp 10 triliun-Rp 9 triliun). Semakin banyak negara yang bekerjasama maka kebutuhan emas akan semakin sedikit. Transaksi emas lintas negara dapat difasilitasi dengan pendirian semacam Bank Kustodian yang mencatatat pergerakan ekspor dan impor masing-masing negara sekaligus dapat difungsikan sebagai penyimpan stok cadangan emas. Emas hanya ditransfer kedalam kurun waktu tertentu, misalnya setiap akhir tahun.
Hal lain yang patut dicatat bahwa besarnya nilai transaksi perdagangan dewasa ini lebih banyak yang bergerak di sektor non riil daripada di sektor riil sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya. Saat ini misalnya total obligasi yang diperdagangkan di dunia mencapai 45 triliun dollar, saham sebesar 51 triliun dollar dan pasar derivatif diperkirakan sebesar 480 triliun dollar. Nilainya setara dengan 30 kali ukuran ekonomi AS atau 12 kali ukuran ekonomi dunia.[10] Tentu uang yang bergerak pada sektor tersebut tak perlu ada ketika negara melarang transaksi yang bersifat spekulatif sebagaimana yang berkembang pada sistem kapitalisme saat ini.
Walhasil menolak mata uang emas dan terus mempertahankan mata uang kertas, hanyalah bentuk pengingkaran terhadap kebenaran faktual akan keunggulan emas dan perak. Disamping tentunya sikap tersebut merupakan pengabaian terhadap kewajiban yang telah ditetapakan oleh Allah swt dan Rasul-Nya.bersambung (Muhammad Ishak, Lajnah Tsaqafiyah)
[1] Ahamed Kameel Mydin Meera, Theft of Nations Returning to Gold, Pelanduk Publications. 2004. hal. 72
[2] Jack Weatherford, Sejarah Uang, Bentang Pustaka. 2005, hal. 16
[3] Glyn Davies, History of Money from Ancient Times to the Present Day.2006
[4] Alan Grenspan, Gold and Economic Freedom. 1966. http://www.gold-eagle.com/greenspan041998.html
[5] Ahamed Kameel, op cit. hal.72
[6] Alan Taylor. Global Finance: Past and Present. Finance and Development, IMF. 2004
[7] Murray N. Rothbard, What has Government do with our money?1990
[8] Hasil diskusi penulis dengan Robert Blumen, kolumnis moneter di Ludwidg Van Moses Institute dan pegiat gold coin standard.
[9] Hans F. Sennholz, No Shortage of Gold. The Freeman Vol. 23 No. 9. September 1973
[10] Adnan Khan. The Global Credit Crunch dan The Crisis of Capitalism, hal 25
Sumber : http://hizbut-tahrir.or.id
Rabu, 28 Januari 2009
Global Warning "Konversi Lahan Gambut jadi Kebun Sawit Percepat Pemanasan Global"
07.38 | Diposting oleh
Unknown
"Konversi Lahan Gambut jadi Kebun Sawit Percepat Pemanasan Global"
Ditulis Oleh Jefri G Saragih
SIARAN PERS
PERKUMPULAN SAWIT WATCH
Di sela-sela pertemuan resmi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang berlangsung dari tanggal 2-4 November 2009 di Kuala Lumpur, Malaysia, Sawit Watch menggelar konferensi pers yang dihadiri beberapa wartawan media cetak dan elektronik dari Indonesia dan Malaysia.
Dalam kesempatan itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan Sawit Watch menyebutkan tujuan terbentuknya RSPO adalah mengikat komitmen banyak pihak, terutama perusahaan perkebunan kelapa sawit agar tidak melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan menjaga keberlanjutan lingkungan dalam penyelenggaraan perkebunan sawit.
"Para anggota RSPO harus mematuhi Prinsip dan Kriteria serta Indikator berkelanjutan yang sudah disepakati bersama. Jadi hal lumrah bila banyak pihak di luar bahkan di dalam forum ini sendiri berharap, berkesempatan bahkan menantang RSPO segera menyelesaikan persoalan-persoalan sosial dan lingkungan yang muncul akibat perkebunan sawit, " lanjut Abet Nego Tarigan.
Sementara itu Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Berry Nahdian Furqan, mengatakan, "Sejak RSPO ada dari tahun 2003 hingga saat ini, persoalan sosial dan lingkungan yang muncul akibat perkebunan sawit skala besar belum juga terselesaikan. Saya khawatir pertemuan ini hanya untuk bercakap-cakap saja diantara banyak pihak tanpa menyelesaikan persoalan. Seharusnya RSPO bisa menjamin hak masyarakat adat atau lokal dari perluasan kebun sawit. Juga mampu memaksa
anggotanya untuk tidak lagi membuka kebun di kawasan hutan dan lahan gambut,"
Sehubungan dengan pernyataan Sawit Watch dan Walhi, Bambang Hero Saharjo dari Fakultas Kehutanan Insitut Pertanian Bogor, menjelaskan berdasarkan penelitian yang dilakukannya bersama dengan Sawit Watch didapati fakta dan data bahwa pembukaan kebun sawit di lahan gambut akan mempercepat pemanasan global akibat terlepasnya gas rumah kaca, terutama karbondioksida (CO2) yang tersimpan di gambut.
"Berdasarkan penelitian kami di Tanah Grogot, Kalimantan Timur, kebun kelapa sawit yang ditanam di tanah mineral selama 25 tahun hanya mampu menyerap 130 ton CO2 eq/ha. Kalaupun bervariasi maka kemungkinan besar tidak akan lebih dari 180 ton CO2 eq, mengingat kandungan karbon pada bagian atas permukaan tanah di kebun kelapa sawit adalah 39,94 ton / ha atau setara dengan146,58 ton CO2 eq./ha."
Bambang melanjutkan, "Emisi GRK yang realistik dari lahan gambut yang terdrainase adalah 25-55 ton CO2-eq/ha/tahun atau sekitar 625-1375 ton CO2-eq untuk selama 25 tahun. Sementara untuk tipe penggunaan lahan alang-alang pada kedalaman 0-30 cm total kandungan karbonnya sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pada areal bekas pembalakan dan areal bekas terbakar yaitu 252,855 ton/ha atau setara dengan 927,98 ton CO2 eq./ha selama 25 tahun. Jadi konversi lahan gambut jadi perkebunan sawit jelas akan mempercepat pemanasan global. Kalaupun harus ekspansi, sebaiknya kebun sawit ditanam di daerah alang-alang." (Jefri Gideon Saragih)
43 Things Tags: Konversi, Lahan Gambut, Kebun, Sawit, Percepat, Pemanasan Global, Global Warning Technorati Tags: Konversi, Lahan Gambut, Kebun, Sawit, Percepat, Pemanasan Global, Global Warning LiveJournal Tags: Konversi, Lahan Gambut, Kebun, Sawit, Percepat, Pemanasan Global, Global Warning
Ditulis Oleh Jefri G Saragih
SIARAN PERS
PERKUMPULAN SAWIT WATCH
Di sela-sela pertemuan resmi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang berlangsung dari tanggal 2-4 November 2009 di Kuala Lumpur, Malaysia, Sawit Watch menggelar konferensi pers yang dihadiri beberapa wartawan media cetak dan elektronik dari Indonesia dan Malaysia.
Dalam kesempatan itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan Sawit Watch menyebutkan tujuan terbentuknya RSPO adalah mengikat komitmen banyak pihak, terutama perusahaan perkebunan kelapa sawit agar tidak melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan menjaga keberlanjutan lingkungan dalam penyelenggaraan perkebunan sawit.
"Para anggota RSPO harus mematuhi Prinsip dan Kriteria serta Indikator berkelanjutan yang sudah disepakati bersama. Jadi hal lumrah bila banyak pihak di luar bahkan di dalam forum ini sendiri berharap, berkesempatan bahkan menantang RSPO segera menyelesaikan persoalan-persoalan sosial dan lingkungan yang muncul akibat perkebunan sawit, " lanjut Abet Nego Tarigan.
Sementara itu Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Berry Nahdian Furqan, mengatakan, "Sejak RSPO ada dari tahun 2003 hingga saat ini, persoalan sosial dan lingkungan yang muncul akibat perkebunan sawit skala besar belum juga terselesaikan. Saya khawatir pertemuan ini hanya untuk bercakap-cakap saja diantara banyak pihak tanpa menyelesaikan persoalan. Seharusnya RSPO bisa menjamin hak masyarakat adat atau lokal dari perluasan kebun sawit. Juga mampu memaksa
anggotanya untuk tidak lagi membuka kebun di kawasan hutan dan lahan gambut,"
Sehubungan dengan pernyataan Sawit Watch dan Walhi, Bambang Hero Saharjo dari Fakultas Kehutanan Insitut Pertanian Bogor, menjelaskan berdasarkan penelitian yang dilakukannya bersama dengan Sawit Watch didapati fakta dan data bahwa pembukaan kebun sawit di lahan gambut akan mempercepat pemanasan global akibat terlepasnya gas rumah kaca, terutama karbondioksida (CO2) yang tersimpan di gambut.
"Berdasarkan penelitian kami di Tanah Grogot, Kalimantan Timur, kebun kelapa sawit yang ditanam di tanah mineral selama 25 tahun hanya mampu menyerap 130 ton CO2 eq/ha. Kalaupun bervariasi maka kemungkinan besar tidak akan lebih dari 180 ton CO2 eq, mengingat kandungan karbon pada bagian atas permukaan tanah di kebun kelapa sawit adalah 39,94 ton / ha atau setara dengan146,58 ton CO2 eq./ha."
Bambang melanjutkan, "Emisi GRK yang realistik dari lahan gambut yang terdrainase adalah 25-55 ton CO2-eq/ha/tahun atau sekitar 625-1375 ton CO2-eq untuk selama 25 tahun. Sementara untuk tipe penggunaan lahan alang-alang pada kedalaman 0-30 cm total kandungan karbonnya sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pada areal bekas pembalakan dan areal bekas terbakar yaitu 252,855 ton/ha atau setara dengan 927,98 ton CO2 eq./ha selama 25 tahun. Jadi konversi lahan gambut jadi perkebunan sawit jelas akan mempercepat pemanasan global. Kalaupun harus ekspansi, sebaiknya kebun sawit ditanam di daerah alang-alang." (Jefri Gideon Saragih)
43 Things Tags: Konversi, Lahan Gambut, Kebun, Sawit, Percepat, Pemanasan Global, Global Warning Technorati Tags: Konversi, Lahan Gambut, Kebun, Sawit, Percepat, Pemanasan Global, Global Warning LiveJournal Tags: Konversi, Lahan Gambut, Kebun, Sawit, Percepat, Pemanasan Global, Global Warning
PEMBUKAAN KEBUN SAWIT TANPA HAK GUNA USAHA ADALAH PELANGGARAN HUKUM
07.32 | Diposting oleh
Unknown
PEMBUKAAN KEBUN SAWIT TANPA HAK GUNA USAHA ADALAH PELANGGARAN HUKUM
Ditulis Oleh Jefri G Saragih
SIARAN PERS
PERKUMPULAN SAWIT WATCH
Dalam diskusi panel pra pertemuan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), pada 1 November 2009, di Kuala Lumpur, Direktur Penyelesaian Konflik dan Sengketa Lahan, Badan Pertahanan Nasional (BPN) mengatakan bahwa setiap perusahaan sawit yang melakukan pembersihan atau pembukaan lahan tanpa memiliki Hak Guna Usaha (HGU) adalah kegiatan illegal dan mesti ditangkap.
Kata Iwan Sulanjana, "Sering sekali perusahaan kelapa sawit di Indonesia sudah mulai membuka kebun hanya bermodal ijin lokasi dan ijin usaha perkebunan. Padahal ijin lokasi itu artinya hanya sebatas Anda (perusahaan) boleh ada di kawasan itu. Sedangkan ijin usaha perkebunan berarti perusahaan boleh buka kebun di tempat tadi. Tapi tanpa HGU perusahaan jelas tidak punya hak atas tanah. Menurut hukum Indonesia perusahaan sawit sperti itu jelas melanggar hukum."
Menurut data BPN perusahaan sawit yang membuka kebun tanpa memiliki HGU lebih bermotif mendapatkan pinjaman dari dunia perbankan. " Sampai saat ini ada 7,3 juta hektar lahan terlantar di Indonesia. Sebagian besar dari lahan itu sudah mendapat ijin lokasi dan ijin usaha perkebunan. Tapi tidak dikelola oleh perusahaan karena dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman dari bank. Anehnya dana pinjaman tadi digunakan untuk berinvestasi di tempat lain. Kejadian seperti inilah yang menjadi salah satu penyebab konflik lahan di Indonesia.", tambah Iwan.
Menanggapi pernyataan tersebut, direktur eksekutif Sawit Watch, Abet Nego Tarigan mengungkapkan pokok persoalan lahan di sektor perkebunan sawit di Indonesia diakibatkan oleh tumpang tindah dan pertentangan antar peraturan tentang tanah dan persoalan penegakan hukum. Dia mencontohkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria no 5 tahun 1960 disebutkan masa berlakunya HGU adalah 25 tahun. Namun di Undang-Undang No 18 tahun 2004 tentang perkebunan dikatakan masa berlakunya HGU selama 35 tahun.
"Selain itu adalah persoalan penegakan hukum sendiri. Bila perusahaan sawit yang membuka kebun tanpa HGU disebut melanggar hukum dan harus ditangkap, lantas apparatus pemerintah mana yang akan menegakkan peraturan tadi? Padahal menurut data Sawit Watch, ada banyak perusahaan yang tetap beroperasi meski tidak memiliki HGU," lanjut Abet Nego Tarigan.
Dalam diskusi panel yang diberi judul "HAK ATAS TANAH" tersebut, para pembicara yang terdiri dari Iwan Sulanjana, Abet Nego Tarigan, Simon Siburat (Perwakilan PT Wilmar), Dominique Ng (Pengacara Masyarakat Adat Serawak ) dan Amar Inamdar (CAO, Bank Dunia) menyepakati dan mendesak agar
RSPO segera membentuk satu kelompok kerja penyelesaian konflik lahan akibat pembangunan kebun sawit.
Sembari menutup acara diskusi itu, Abet Nego menambahkan "Saat ini merupakan waktu yang tepat bagi RSPO untuk menghentikan dan menyelesaikan konflik lahan di kebun sawit. Tanpa itu rasanya sulit mengatakan ada produk minyak sawit yang berkelanjutan." (jefri Gideon Saragih)
LiveJournal Tags: SAWIT, HAK GUNA USAHA, PELANGGARAN HUKUM Technorati Tags: SAWIT, HAK GUNA USAHA, PELANGGARAN HUKUM 43 Things Tags: SAWIT, HAK GUNA USAHA, PELANGGARAN HUKUM
Ditulis Oleh Jefri G Saragih
SIARAN PERS
PERKUMPULAN SAWIT WATCH
Dalam diskusi panel pra pertemuan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), pada 1 November 2009, di Kuala Lumpur, Direktur Penyelesaian Konflik dan Sengketa Lahan, Badan Pertahanan Nasional (BPN) mengatakan bahwa setiap perusahaan sawit yang melakukan pembersihan atau pembukaan lahan tanpa memiliki Hak Guna Usaha (HGU) adalah kegiatan illegal dan mesti ditangkap.
Kata Iwan Sulanjana, "Sering sekali perusahaan kelapa sawit di Indonesia sudah mulai membuka kebun hanya bermodal ijin lokasi dan ijin usaha perkebunan. Padahal ijin lokasi itu artinya hanya sebatas Anda (perusahaan) boleh ada di kawasan itu. Sedangkan ijin usaha perkebunan berarti perusahaan boleh buka kebun di tempat tadi. Tapi tanpa HGU perusahaan jelas tidak punya hak atas tanah. Menurut hukum Indonesia perusahaan sawit sperti itu jelas melanggar hukum."
Menurut data BPN perusahaan sawit yang membuka kebun tanpa memiliki HGU lebih bermotif mendapatkan pinjaman dari dunia perbankan. " Sampai saat ini ada 7,3 juta hektar lahan terlantar di Indonesia. Sebagian besar dari lahan itu sudah mendapat ijin lokasi dan ijin usaha perkebunan. Tapi tidak dikelola oleh perusahaan karena dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman dari bank. Anehnya dana pinjaman tadi digunakan untuk berinvestasi di tempat lain. Kejadian seperti inilah yang menjadi salah satu penyebab konflik lahan di Indonesia.", tambah Iwan.
Menanggapi pernyataan tersebut, direktur eksekutif Sawit Watch, Abet Nego Tarigan mengungkapkan pokok persoalan lahan di sektor perkebunan sawit di Indonesia diakibatkan oleh tumpang tindah dan pertentangan antar peraturan tentang tanah dan persoalan penegakan hukum. Dia mencontohkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria no 5 tahun 1960 disebutkan masa berlakunya HGU adalah 25 tahun. Namun di Undang-Undang No 18 tahun 2004 tentang perkebunan dikatakan masa berlakunya HGU selama 35 tahun.
"Selain itu adalah persoalan penegakan hukum sendiri. Bila perusahaan sawit yang membuka kebun tanpa HGU disebut melanggar hukum dan harus ditangkap, lantas apparatus pemerintah mana yang akan menegakkan peraturan tadi? Padahal menurut data Sawit Watch, ada banyak perusahaan yang tetap beroperasi meski tidak memiliki HGU," lanjut Abet Nego Tarigan.
Dalam diskusi panel yang diberi judul "HAK ATAS TANAH" tersebut, para pembicara yang terdiri dari Iwan Sulanjana, Abet Nego Tarigan, Simon Siburat (Perwakilan PT Wilmar), Dominique Ng (Pengacara Masyarakat Adat Serawak ) dan Amar Inamdar (CAO, Bank Dunia) menyepakati dan mendesak agar
RSPO segera membentuk satu kelompok kerja penyelesaian konflik lahan akibat pembangunan kebun sawit.
Sembari menutup acara diskusi itu, Abet Nego menambahkan "Saat ini merupakan waktu yang tepat bagi RSPO untuk menghentikan dan menyelesaikan konflik lahan di kebun sawit. Tanpa itu rasanya sulit mengatakan ada produk minyak sawit yang berkelanjutan." (jefri Gideon Saragih)
LiveJournal Tags: SAWIT, HAK GUNA USAHA, PELANGGARAN HUKUM Technorati Tags: SAWIT, HAK GUNA USAHA, PELANGGARAN HUKUM 43 Things Tags: SAWIT, HAK GUNA USAHA, PELANGGARAN HUKUM
Langganan:
Postingan (Atom)