Rabu, 21 Oktober 2009
Dinar dan Dirham VS Mata Uang Kertas (II), Emas dan Perak, Mata Uang Hakiki
07.23 | Diposting oleh
Unknown
HTI-Press. Sepanjang sejarah manusia aneka alat tukar telah digunakan, mulai dari yang paling sederhana seperti bahan makanan, kulit binatang, tembakau, logam kertas hingga manusia. Dari sekian banyak bentuk uang tersebut, emaslah yang paling banyak diminati. Hal ini karena dari sisi fisik emas memiliki keunggulan dari jenis mata lainnya, antara lain:
Pertama, emas lebih tahan lama dibandingkan komoditas lain termasuk dengan sejumlah jenis logam sendiri. Emas tidak dapat beroksidasi dengan mudah sehingga ia anti karat. Ia tetap stabil dan tahan dalam jangka waktu yang sangat panjang. Meski emas tenggelam ke dalam lautan bergaram misalnya namun ia tetap dalam bentuk aslinya dan tidak mengalami perubahan.[1] Emas yang telah diproduksi ratusan tahun silam nilainya sama dengan emas yang baru saja diproduksi. Tak heran jika emas merupakan sarana penyimpan kekayaan (store of value) yang paling baik. Bandingkan dengan komoditas lain seperti kertas meski dapat digunakan sebagai media tukar (medium of exchange) namun ia tidak dapat menyimpan kekayaan dalam waktu lama.[2]
Kedua, emas merupakan logam yang dapat dibagi-bagi (diversiblity) dalam ukuran kecil dan dapat dilebur kembali seperti semula. Dengan sifat tersebut ia dapat menjadi alat tukar yang dapat diubah menjadi sesuatu yang berguna kapan saja dengan tetap menjaga nilainya. Ia bisa menjadi perhiasan atau perkakas pada suatu hari dan dijadikan uang hari berikutnya.[3]
Ketiga, emas merupakan komoditas yang bernilai tinggi (luxury good). Komoditas tersebut memiliki nilai unit yang tinggi meski ukurannya kecil. Oleh karena itu seseorang hanya membutuhkan sedikit emas untuk melakukan transaksi barang dan jasa dalam ukuran besar. Nilai satu ounce emas misalnya setara dengan setengah ton lempeng besi.[4] Emas juga berbeda dengan mata uang kertas yang nilainya ditentukan oleh kekuatan hukum suatu negara dimana nilai intrinsiknya jauh di bawah nilai nominalnya. Nilai emas ditopang oleh fisiknya sendiri.
Keempat, emas termasuk komoditas yang dapat diterima secara luas (universally) oleh masyarakat dunia sebagai benda bernilai sekaligus dapat dijadikan sebagai alat tukar. Bandingkan misalnya dengan dolar AS, meski telah menjadi mata uang internasional, namun tetap saja ia kalah pamor dengan emas. Tidak semua orang di dunia ini mau menerima dolar sebagai alat transaksi apalagi ketika perekonomian AS mengalami ketidastabilan.
Kelima, emas bersifat langka. Ia tidak dapat diperoleh dengan mudah. Hal ini berbeda dengan uang kertas yang dengan mudah dapat diciptakan melalui mesin cetak. Apalagi dengan kecanggihan tehnologi percetakan yang terus berkembang membuat uang kertas begitu mudah untuk ditiru.[5]
Dengan keunggulan fisik tersebut tak heran jika emas dalam kurun waktu yang cukup lama baik di masa primitif maupun di masa modern telah dijadikan sebagai mata uang yang paling tangguh baik sebagai alat tukar (medium of transaction) maupun sebagai penyimpan kekayaan (store of value).
Keunggulan Moneter
Dari sisi moneter standar mata uang emas juga memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan standar mata uang kertas (fiat money), diantaranya:
Pertama, inflasi rendah dan terkendali. Dengan menerapkan mata uang emas, pemerintah suatu negara tidak dapat menambah pasokan uang dengan bebas. Akibatnya supply mata uang akan terkendali. Uang hanya bertambah seiring dengan bertambahnya cadangan emas negara. Dengan demikian inflasi yang diakibatkan oleh pertumbuhan uang sebagaimana pada sistem mata uang kertas (fiat money) tidak terjadi. Memang tak dapat dipungkiri bahwa inflasi bisa saja terjadi ketika ditemukan cadangan emas dalam jumlah besar. Namun keadaan tersebut merupakan sesuatu yang jarang terjadi dan orang yang memiliki emas tidak langsung melempar emasnya ke pasar.
Keampuhan mata uang mengendalikan inflasi telah dibuktikan oleh Jastram, (1980) seorang profesor dari University of California. Ia menyimpulkan bahwa tingkat inflasi pada standar emas (gold standard) paling rendah dari seluruh rezim moneter yang pernah diterapkan termasuk pada rezim mata uang kertas (fiat standard). Sebagai contoh dari tahun 1560 hingga 1914 indeks harga (price index) Inggris tetap konstan dimana inflasi dan deflasi nyaris tidak ada. Demikian pula tingkat harga di AS pada tahun 1930 sama dengan tingkat harga pada tahun 1800.
Kedua, di dalam rezim standar emas, nilai tukar antar negara relatif stabil sebab mata uang masing-masing negara tersebut dsandarkan pada emas yang nilainya stabil. Pertukaran antara mata uang yang dijamin oleh emas dengan mata uang kertas negara lain yang tidak dijaminan emas juga tidak menjadi masalah. Hal ini karena nilai mata uang yang dijamin emas tersebut ditentukan oleh seberapa besar mata uang kertas tadi menghargai emas. Nilai emas memang bisa naik atau turun berdasarkan permintaan dan penawaran, namun ketika emas dijadikan uang maka masing-masing negara akan menjaga cadangan emas mereka. Dengan demikian supply mata uang akan relatif stabil sehingga nilainya pun stabil.
Ketiga, kestabilan nilai tukar membuat transaksi perdagangan barang dan jasa (seperti traveling), transaksi modal dapat berjalan dengan lancar dan stabil. Nilai transaki di masa yang akan datang dapat diprediksi lebih akurat sebab nilai tukar mata uang relatif stabil. Seorang importir dapat melakukan pemesanan barang di masa mendatang tanpa perlu melakukan lindung nilai tukar (hedging). Demikian pula seorang eksportir dapat melakukan ekspansi usaha tanpa perlu khawatir di masa akan datang nilai ekspor akan terganggu akibat nilai tukar yang tidak stabil. Dengan demikian standar emas melindungi pelaku ekonomi dari miskalkulasi kegiatan ekonomi (economic miscalculation) yang merupakan penyakit mata uang kertas (fiat money).
Demikian pula kestabilan mata uang emas membuat nilai utang luar negeri baik dalam jangka panjang ataupun pendek, juga relatif stabil. Hal ini karena perubahan kurs yang fluktuatif tidak terjadi sebagaimana dalam standar mata uang kertas. Bandingkan misalnya saat ini ada sekitar 22 miliar dolar utang Indonesia yang jatuh tempo pada tahun 2009 dengan asumsi kurs APBN Rp. 9100/dolar. Jika nila rupiah berada pada angka Rp 12.000/dolar seperti rerata belakangan ini, maka tambahan utang akibat perubahan kurs tersebut naik sebesar Rp. 55 triliun. Angka yang cukup besar.
Iklim yang stabil tersebut menjadikan kegiatan perdagangan meningkat dengan drastis. Keunikan ini telah dibuktikan oleh Taylor seorang peneliti IMF yang menyimpulkan bahwa sepanjang sejarah implementasinya, standar emas telah memberikan kestabilan nilai tukar. Dampaknya, transaksi perdagangan tumbuh dengan pesat.[6]
Keempat, standar emas memiliki mekanisme untuk menjaga neraca pembayaran setiap negara agar tetap dalam keadaan equilibrium. Mekanisme yang dipopulerkan oleh David Hume (1711-1776) pada abad ke-18 tersebut disebut mekanisme price-specie-flow adjusment. Proses mekanisme tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Jika suatu negara, Indonesia misalnya meningkatkan supply uang kertasnya yang dibacking emas maka inflasi di negara tersebut akan naik yakni harga-harga secara umum lebih mahal. Tingginya harga-harga di dalam negeri dibandingkan harga-harga di luar negeri seperti Malaysia menyebabkan ekspor menurun akibat harganya yang kurang kompetitif. Pada yang sama impor meningkat karena reatif lebih murah. Akibatnya Indonesia mengalami defisit neraca pembayaran (balance of payment). Defisit ini kemudian dibayar dengan penyerahan emas kepada Malaysia. Dengan mengalirnya emas tersebut menyebabkan harga barang di Indonesia kembali turun sehingga lebih murah dari sebelumnya. Ekspor pun meningkat sebaliknya impor menurun. Dengan demikian defisit neraca pembayaran Indonesia terkoreksi dengan sendirinya (automatic adjustment).[7]
Menjawab Keberatan
Sejumlah kalangan mempertanyakan kehandalan mata uang emas mulai dari tataran teknis, ekonomis, politis hingga yang bertaraf ideologis. Salah satu keberatan yang cukup dominan adalah apakah persediaan emas cukup jika dikonversikan dengan jumlah uang yang beredar seperti di Indonesia atau bahkan di dunia?
Secara singkat, ada beberapa argumen yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Saat ini diperkirakan jumlah emas dipermukaan bumi yang telah diproduksi mencapai 5 miliar ons. Di sisi lain jumlah uang yang beredar baik berupa uang kartal (uang kertas dan koin) ditambah dengan uang giral (bank deposits) atau dikenal dengan M1 nilainya sekitar 30 triliun dolar. Jika harga emas saat ini USD 6,000/ons, maka nilai supply emas tersebut cukup untuk menggantikan peran uang kertas. Untuk membeli barang seharga 1 dolar misalnya cukup dengan 0,0002 oz emas.[8]
Belum lagi ketika perak juga dijadikan sebagai mata uang resmi yang di dalam Islam dikenal dengan istilah dirham, ketersedian uang untuk kegiatan ekonomi akan sangat memadai. Untuk menutupi kebutuhan transaksi yang nilainya lebih kecil, cukup diatasi dengan pencetakan dirham dalam berbagai ukuran. Larangan menimbun emas dan perak (kanz/hoarding) sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Islam menjadi sangat relevan agar perputaran emas dan perak sebagai uang terus berjalan.
Alasan lain adalah dalam standar emas pertumbuhan supply uang bergerak secara bebas seiring dengan pertambahan dan penyusutan jumlah emas. Nilai mata uang emas secara alamiah menentukan berapa besar daya beli yang dikandungnya terhadap barang dan jasa yang ada (purchasing power). Tidak menjadi masalah apakah nilai kekayaan direpresentasikan dengan unit uang yang besar atau kecil, banyak atau sedikit. Sebab yang penting adalah uang tersebut memiliki daya beli yang tinggi. Justru yang menjadi masalah adalah ketika jumlah unit uang terus bertambah, sementara nilai kekayaan secara riil tidak bertambah bahkan merosot. Hal ini karena daya beli uang (purchasing power) akan terus merosot akibat digerogoti inflasi. Tidak terasa semakin lama, makin banyak jumlah uang yang dibutuhkan untuk membeli barang yang sama.[9]
Di sisi lain sebagaimana yang dinyatakan oleh Meera, bahwa ketika sejumlah negara telah menggunakan emas sebagai alat tukar dan menjalin kerjasama dengan efektif, maka jumlah uang yang dibutuhkan sebenarnya tidak terlalu besar dari yang dibayangkan. Sebagai contoh, ketika nilai ekspor Indonesia selama setahun ke Malaysia sebesar Rp 10 triliun dan masa yang sama mengimpor dari negara tersebut sebesar Rp 9 triliun, maka uang emas yang dibutuhkan secara riil bukan 19 triliun namun hanya 1 triliun (Rp 10 triliun-Rp 9 triliun). Semakin banyak negara yang bekerjasama maka kebutuhan emas akan semakin sedikit. Transaksi emas lintas negara dapat difasilitasi dengan pendirian semacam Bank Kustodian yang mencatatat pergerakan ekspor dan impor masing-masing negara sekaligus dapat difungsikan sebagai penyimpan stok cadangan emas. Emas hanya ditransfer kedalam kurun waktu tertentu, misalnya setiap akhir tahun.
Hal lain yang patut dicatat bahwa besarnya nilai transaksi perdagangan dewasa ini lebih banyak yang bergerak di sektor non riil daripada di sektor riil sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya. Saat ini misalnya total obligasi yang diperdagangkan di dunia mencapai 45 triliun dollar, saham sebesar 51 triliun dollar dan pasar derivatif diperkirakan sebesar 480 triliun dollar. Nilainya setara dengan 30 kali ukuran ekonomi AS atau 12 kali ukuran ekonomi dunia.[10] Tentu uang yang bergerak pada sektor tersebut tak perlu ada ketika negara melarang transaksi yang bersifat spekulatif sebagaimana yang berkembang pada sistem kapitalisme saat ini.
Walhasil menolak mata uang emas dan terus mempertahankan mata uang kertas, hanyalah bentuk pengingkaran terhadap kebenaran faktual akan keunggulan emas dan perak. Disamping tentunya sikap tersebut merupakan pengabaian terhadap kewajiban yang telah ditetapakan oleh Allah swt dan Rasul-Nya.bersambung (Muhammad Ishak, Lajnah Tsaqafiyah)
[1] Ahamed Kameel Mydin Meera, Theft of Nations Returning to Gold, Pelanduk Publications. 2004. hal. 72
[2] Jack Weatherford, Sejarah Uang, Bentang Pustaka. 2005, hal. 16
[3] Glyn Davies, History of Money from Ancient Times to the Present Day.2006
[4] Alan Grenspan, Gold and Economic Freedom. 1966. http://www.gold-eagle.com/greenspan041998.html
[5] Ahamed Kameel, op cit. hal.72
[6] Alan Taylor. Global Finance: Past and Present. Finance and Development, IMF. 2004
[7] Murray N. Rothbard, What has Government do with our money?1990
[8] Hasil diskusi penulis dengan Robert Blumen, kolumnis moneter di Ludwidg Van Moses Institute dan pegiat gold coin standard.
[9] Hans F. Sennholz, No Shortage of Gold. The Freeman Vol. 23 No. 9. September 1973
[10] Adnan Khan. The Global Credit Crunch dan The Crisis of Capitalism, hal 25
Sumber : http://hizbut-tahrir.or.id
Pertama, emas lebih tahan lama dibandingkan komoditas lain termasuk dengan sejumlah jenis logam sendiri. Emas tidak dapat beroksidasi dengan mudah sehingga ia anti karat. Ia tetap stabil dan tahan dalam jangka waktu yang sangat panjang. Meski emas tenggelam ke dalam lautan bergaram misalnya namun ia tetap dalam bentuk aslinya dan tidak mengalami perubahan.[1] Emas yang telah diproduksi ratusan tahun silam nilainya sama dengan emas yang baru saja diproduksi. Tak heran jika emas merupakan sarana penyimpan kekayaan (store of value) yang paling baik. Bandingkan dengan komoditas lain seperti kertas meski dapat digunakan sebagai media tukar (medium of exchange) namun ia tidak dapat menyimpan kekayaan dalam waktu lama.[2]
Kedua, emas merupakan logam yang dapat dibagi-bagi (diversiblity) dalam ukuran kecil dan dapat dilebur kembali seperti semula. Dengan sifat tersebut ia dapat menjadi alat tukar yang dapat diubah menjadi sesuatu yang berguna kapan saja dengan tetap menjaga nilainya. Ia bisa menjadi perhiasan atau perkakas pada suatu hari dan dijadikan uang hari berikutnya.[3]
Ketiga, emas merupakan komoditas yang bernilai tinggi (luxury good). Komoditas tersebut memiliki nilai unit yang tinggi meski ukurannya kecil. Oleh karena itu seseorang hanya membutuhkan sedikit emas untuk melakukan transaksi barang dan jasa dalam ukuran besar. Nilai satu ounce emas misalnya setara dengan setengah ton lempeng besi.[4] Emas juga berbeda dengan mata uang kertas yang nilainya ditentukan oleh kekuatan hukum suatu negara dimana nilai intrinsiknya jauh di bawah nilai nominalnya. Nilai emas ditopang oleh fisiknya sendiri.
Keempat, emas termasuk komoditas yang dapat diterima secara luas (universally) oleh masyarakat dunia sebagai benda bernilai sekaligus dapat dijadikan sebagai alat tukar. Bandingkan misalnya dengan dolar AS, meski telah menjadi mata uang internasional, namun tetap saja ia kalah pamor dengan emas. Tidak semua orang di dunia ini mau menerima dolar sebagai alat transaksi apalagi ketika perekonomian AS mengalami ketidastabilan.
Kelima, emas bersifat langka. Ia tidak dapat diperoleh dengan mudah. Hal ini berbeda dengan uang kertas yang dengan mudah dapat diciptakan melalui mesin cetak. Apalagi dengan kecanggihan tehnologi percetakan yang terus berkembang membuat uang kertas begitu mudah untuk ditiru.[5]
Dengan keunggulan fisik tersebut tak heran jika emas dalam kurun waktu yang cukup lama baik di masa primitif maupun di masa modern telah dijadikan sebagai mata uang yang paling tangguh baik sebagai alat tukar (medium of transaction) maupun sebagai penyimpan kekayaan (store of value).
Keunggulan Moneter
Dari sisi moneter standar mata uang emas juga memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan standar mata uang kertas (fiat money), diantaranya:
Pertama, inflasi rendah dan terkendali. Dengan menerapkan mata uang emas, pemerintah suatu negara tidak dapat menambah pasokan uang dengan bebas. Akibatnya supply mata uang akan terkendali. Uang hanya bertambah seiring dengan bertambahnya cadangan emas negara. Dengan demikian inflasi yang diakibatkan oleh pertumbuhan uang sebagaimana pada sistem mata uang kertas (fiat money) tidak terjadi. Memang tak dapat dipungkiri bahwa inflasi bisa saja terjadi ketika ditemukan cadangan emas dalam jumlah besar. Namun keadaan tersebut merupakan sesuatu yang jarang terjadi dan orang yang memiliki emas tidak langsung melempar emasnya ke pasar.
Keampuhan mata uang mengendalikan inflasi telah dibuktikan oleh Jastram, (1980) seorang profesor dari University of California. Ia menyimpulkan bahwa tingkat inflasi pada standar emas (gold standard) paling rendah dari seluruh rezim moneter yang pernah diterapkan termasuk pada rezim mata uang kertas (fiat standard). Sebagai contoh dari tahun 1560 hingga 1914 indeks harga (price index) Inggris tetap konstan dimana inflasi dan deflasi nyaris tidak ada. Demikian pula tingkat harga di AS pada tahun 1930 sama dengan tingkat harga pada tahun 1800.
Kedua, di dalam rezim standar emas, nilai tukar antar negara relatif stabil sebab mata uang masing-masing negara tersebut dsandarkan pada emas yang nilainya stabil. Pertukaran antara mata uang yang dijamin oleh emas dengan mata uang kertas negara lain yang tidak dijaminan emas juga tidak menjadi masalah. Hal ini karena nilai mata uang yang dijamin emas tersebut ditentukan oleh seberapa besar mata uang kertas tadi menghargai emas. Nilai emas memang bisa naik atau turun berdasarkan permintaan dan penawaran, namun ketika emas dijadikan uang maka masing-masing negara akan menjaga cadangan emas mereka. Dengan demikian supply mata uang akan relatif stabil sehingga nilainya pun stabil.
Ketiga, kestabilan nilai tukar membuat transaksi perdagangan barang dan jasa (seperti traveling), transaksi modal dapat berjalan dengan lancar dan stabil. Nilai transaki di masa yang akan datang dapat diprediksi lebih akurat sebab nilai tukar mata uang relatif stabil. Seorang importir dapat melakukan pemesanan barang di masa mendatang tanpa perlu melakukan lindung nilai tukar (hedging). Demikian pula seorang eksportir dapat melakukan ekspansi usaha tanpa perlu khawatir di masa akan datang nilai ekspor akan terganggu akibat nilai tukar yang tidak stabil. Dengan demikian standar emas melindungi pelaku ekonomi dari miskalkulasi kegiatan ekonomi (economic miscalculation) yang merupakan penyakit mata uang kertas (fiat money).
Demikian pula kestabilan mata uang emas membuat nilai utang luar negeri baik dalam jangka panjang ataupun pendek, juga relatif stabil. Hal ini karena perubahan kurs yang fluktuatif tidak terjadi sebagaimana dalam standar mata uang kertas. Bandingkan misalnya saat ini ada sekitar 22 miliar dolar utang Indonesia yang jatuh tempo pada tahun 2009 dengan asumsi kurs APBN Rp. 9100/dolar. Jika nila rupiah berada pada angka Rp 12.000/dolar seperti rerata belakangan ini, maka tambahan utang akibat perubahan kurs tersebut naik sebesar Rp. 55 triliun. Angka yang cukup besar.
Iklim yang stabil tersebut menjadikan kegiatan perdagangan meningkat dengan drastis. Keunikan ini telah dibuktikan oleh Taylor seorang peneliti IMF yang menyimpulkan bahwa sepanjang sejarah implementasinya, standar emas telah memberikan kestabilan nilai tukar. Dampaknya, transaksi perdagangan tumbuh dengan pesat.[6]
Keempat, standar emas memiliki mekanisme untuk menjaga neraca pembayaran setiap negara agar tetap dalam keadaan equilibrium. Mekanisme yang dipopulerkan oleh David Hume (1711-1776) pada abad ke-18 tersebut disebut mekanisme price-specie-flow adjusment. Proses mekanisme tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Jika suatu negara, Indonesia misalnya meningkatkan supply uang kertasnya yang dibacking emas maka inflasi di negara tersebut akan naik yakni harga-harga secara umum lebih mahal. Tingginya harga-harga di dalam negeri dibandingkan harga-harga di luar negeri seperti Malaysia menyebabkan ekspor menurun akibat harganya yang kurang kompetitif. Pada yang sama impor meningkat karena reatif lebih murah. Akibatnya Indonesia mengalami defisit neraca pembayaran (balance of payment). Defisit ini kemudian dibayar dengan penyerahan emas kepada Malaysia. Dengan mengalirnya emas tersebut menyebabkan harga barang di Indonesia kembali turun sehingga lebih murah dari sebelumnya. Ekspor pun meningkat sebaliknya impor menurun. Dengan demikian defisit neraca pembayaran Indonesia terkoreksi dengan sendirinya (automatic adjustment).[7]
Menjawab Keberatan
Sejumlah kalangan mempertanyakan kehandalan mata uang emas mulai dari tataran teknis, ekonomis, politis hingga yang bertaraf ideologis. Salah satu keberatan yang cukup dominan adalah apakah persediaan emas cukup jika dikonversikan dengan jumlah uang yang beredar seperti di Indonesia atau bahkan di dunia?
Secara singkat, ada beberapa argumen yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Saat ini diperkirakan jumlah emas dipermukaan bumi yang telah diproduksi mencapai 5 miliar ons. Di sisi lain jumlah uang yang beredar baik berupa uang kartal (uang kertas dan koin) ditambah dengan uang giral (bank deposits) atau dikenal dengan M1 nilainya sekitar 30 triliun dolar. Jika harga emas saat ini USD 6,000/ons, maka nilai supply emas tersebut cukup untuk menggantikan peran uang kertas. Untuk membeli barang seharga 1 dolar misalnya cukup dengan 0,0002 oz emas.[8]
Belum lagi ketika perak juga dijadikan sebagai mata uang resmi yang di dalam Islam dikenal dengan istilah dirham, ketersedian uang untuk kegiatan ekonomi akan sangat memadai. Untuk menutupi kebutuhan transaksi yang nilainya lebih kecil, cukup diatasi dengan pencetakan dirham dalam berbagai ukuran. Larangan menimbun emas dan perak (kanz/hoarding) sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Islam menjadi sangat relevan agar perputaran emas dan perak sebagai uang terus berjalan.
Alasan lain adalah dalam standar emas pertumbuhan supply uang bergerak secara bebas seiring dengan pertambahan dan penyusutan jumlah emas. Nilai mata uang emas secara alamiah menentukan berapa besar daya beli yang dikandungnya terhadap barang dan jasa yang ada (purchasing power). Tidak menjadi masalah apakah nilai kekayaan direpresentasikan dengan unit uang yang besar atau kecil, banyak atau sedikit. Sebab yang penting adalah uang tersebut memiliki daya beli yang tinggi. Justru yang menjadi masalah adalah ketika jumlah unit uang terus bertambah, sementara nilai kekayaan secara riil tidak bertambah bahkan merosot. Hal ini karena daya beli uang (purchasing power) akan terus merosot akibat digerogoti inflasi. Tidak terasa semakin lama, makin banyak jumlah uang yang dibutuhkan untuk membeli barang yang sama.[9]
Di sisi lain sebagaimana yang dinyatakan oleh Meera, bahwa ketika sejumlah negara telah menggunakan emas sebagai alat tukar dan menjalin kerjasama dengan efektif, maka jumlah uang yang dibutuhkan sebenarnya tidak terlalu besar dari yang dibayangkan. Sebagai contoh, ketika nilai ekspor Indonesia selama setahun ke Malaysia sebesar Rp 10 triliun dan masa yang sama mengimpor dari negara tersebut sebesar Rp 9 triliun, maka uang emas yang dibutuhkan secara riil bukan 19 triliun namun hanya 1 triliun (Rp 10 triliun-Rp 9 triliun). Semakin banyak negara yang bekerjasama maka kebutuhan emas akan semakin sedikit. Transaksi emas lintas negara dapat difasilitasi dengan pendirian semacam Bank Kustodian yang mencatatat pergerakan ekspor dan impor masing-masing negara sekaligus dapat difungsikan sebagai penyimpan stok cadangan emas. Emas hanya ditransfer kedalam kurun waktu tertentu, misalnya setiap akhir tahun.
Hal lain yang patut dicatat bahwa besarnya nilai transaksi perdagangan dewasa ini lebih banyak yang bergerak di sektor non riil daripada di sektor riil sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya. Saat ini misalnya total obligasi yang diperdagangkan di dunia mencapai 45 triliun dollar, saham sebesar 51 triliun dollar dan pasar derivatif diperkirakan sebesar 480 triliun dollar. Nilainya setara dengan 30 kali ukuran ekonomi AS atau 12 kali ukuran ekonomi dunia.[10] Tentu uang yang bergerak pada sektor tersebut tak perlu ada ketika negara melarang transaksi yang bersifat spekulatif sebagaimana yang berkembang pada sistem kapitalisme saat ini.
Walhasil menolak mata uang emas dan terus mempertahankan mata uang kertas, hanyalah bentuk pengingkaran terhadap kebenaran faktual akan keunggulan emas dan perak. Disamping tentunya sikap tersebut merupakan pengabaian terhadap kewajiban yang telah ditetapakan oleh Allah swt dan Rasul-Nya.bersambung (Muhammad Ishak, Lajnah Tsaqafiyah)
[1] Ahamed Kameel Mydin Meera, Theft of Nations Returning to Gold, Pelanduk Publications. 2004. hal. 72
[2] Jack Weatherford, Sejarah Uang, Bentang Pustaka. 2005, hal. 16
[3] Glyn Davies, History of Money from Ancient Times to the Present Day.2006
[4] Alan Grenspan, Gold and Economic Freedom. 1966. http://www.gold-eagle.com/greenspan041998.html
[5] Ahamed Kameel, op cit. hal.72
[6] Alan Taylor. Global Finance: Past and Present. Finance and Development, IMF. 2004
[7] Murray N. Rothbard, What has Government do with our money?1990
[8] Hasil diskusi penulis dengan Robert Blumen, kolumnis moneter di Ludwidg Van Moses Institute dan pegiat gold coin standard.
[9] Hans F. Sennholz, No Shortage of Gold. The Freeman Vol. 23 No. 9. September 1973
[10] Adnan Khan. The Global Credit Crunch dan The Crisis of Capitalism, hal 25
Sumber : http://hizbut-tahrir.or.id
Label:
Ekonomi dan Bisnis,
Lain-Lain
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar