Jumat, 29 Januari 2010
PAD Kalsel dari Batu Bara Tidak Sampai Rp 1 Triliun
18.04 | Diposting oleh
Unknown
Harian Kompas Kamis, 28 Januari 2010
Banjarmasin, Kompas - Sebagian besar warga Pulau Kalimantan, pulau terbesar penghasil batu bara di Indonesia, hingga kini belum menikmati listrik murah. Ribuan desa di pulau itu bahkan masih gelap pada tahun ke-65 Republik Indonesia ini.
”Ribuan desa di Kalimantan yang belum berlistrik membuktikan masih minimnya penyediaan energi untuk rakyat. Padahal, produksi batu bara di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur saja mencapai 200 juta ton per tahun,” kata Berry Nahdian Furqan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Selasa (26/1) di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Berry menyebutkan, dari produksi batu bara sebanyak itu, hanya sekitar 2 persen yang digunakan untuk pembangkit listrik di Kalimantan. Lebih dari 70 persen diekspor dan 28 persen lainnya dikirim untuk kebutuhan listrik di Jawa dan Sumatera.
”Ini memprihatinkan. Rakyat Kalimantan yang menanggung kerusakan lingkungan akibat penambangan batu bara tidak banyak menikmati listrik. Bahkan, masih krisis listrik,” kata Berry.
Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak sependapat dengan Berry. ”Kami berharap ada peraturan yang bisa membuat sumber daya alam Kaltim dipakai untuk kebutuhan listrik sendiri,” katanya.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Kahar Al Bahri, berkomentar lebih keras. Menurut dia, sebaiknya izin penambangan batu bara yang sudah dikeluarkan dievaluasi sebab penambangan yang sudah berlangsung tidak saja merusak lingkungan, dengan meninggalkan sejumlah besar lubang-lubang raksasa, tetapi juga tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
”Pengamatan kami, pertambangan gagal meningkatkan perekonomian masyarakat, bahkan menyisakan lingkungan yang hancur. Sekitar 102.000 orang dari 204.000 warga Kabupaten Kutai Timur, misalnya, saat ini tergolong miskin. Padahal, di situ beroperasi satu perusahaan tambang batu bara dengan produksi 35 juta ton per tahun,” ujarnya.
Saat ini, lanjut Kahar, hanya 35 desa dari 135 desa di Kutai Timur yang dialiri jaringan listrik.
Pengamat ekonomi lingkungan dari Universitas Lambung Mangkurat, Udiansyah, senada dengan Kahar. Menurut dia, hasil produksi batu bara yang masuk ke daerah hanya sebagian kecil. ”Dari nilai produksi batu bara Kalsel yang mencapai Rp 22 triliun, untuk produksi 80-100 juta ton per tahun, yang menjadi pendapatan asli daerah (PAD) tidak sampai Rp 1 triliun,” katanya.
Belum teraliri listrik
Sejumlah data menunjukkan, di Kalimantan saat ini terdapat 2.103 desa (31,35 persen dari 4.605 desa) yang belum mendapat pelayanan PLN. Di Kaltim, yang mengeluarkan 1.180 kuasa penambangan (KP) batu bara, tercatat 577 desa yang tidak berlistrik. Di Kalsel (penerbit 400-578 KP) terdapat 222 desa yang masih gelap. Di Kalimantan Tengah (penerbit 427 KP) terdapat 777 desa yang tanpa listrik, sedangkan di Kalimantan Barat (yang mengeluarkan 40 KP) ada 527 desa belum terlayani PLN.
Minimnya listrik yang dialirkan PLN di Kalimantan memaksa sebagian masyarakat menyediakan dana untuk membeli bahan bakar minyak, oli, dan perawatan genset. ”Pengeluaran setiap bulan untuk listrik rata-rata Rp 600.000,” kata Poniso Suryo, Camat Rantaupulung, Kutai Timur. (WER/FUL/BRO/AHA)
43 Things Tags: Pertambangan, Ditertibkan, Ilegal, Kalimantan Selatan, Batubara, Minerba, Royalti, Pajak, Kawasan Hutan, Kehutanan LiveJournal Tags: Pertambangan, Ditertibkan, Ilegal, Kalimantan Selatan, Batubara, Minerba, Royalti, Pajak, Kawasan Hutan, Kehutanan Technorati Tags: Pertambangan, Ditertibkan, Ilegal, Kalimantan Selatan, Batubara, Minerba, Royalti, Pajak, Kawasan Hutan, Kehutanan
Banjarmasin, Kompas - Sebagian besar warga Pulau Kalimantan, pulau terbesar penghasil batu bara di Indonesia, hingga kini belum menikmati listrik murah. Ribuan desa di pulau itu bahkan masih gelap pada tahun ke-65 Republik Indonesia ini.
”Ribuan desa di Kalimantan yang belum berlistrik membuktikan masih minimnya penyediaan energi untuk rakyat. Padahal, produksi batu bara di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur saja mencapai 200 juta ton per tahun,” kata Berry Nahdian Furqan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Selasa (26/1) di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Berry menyebutkan, dari produksi batu bara sebanyak itu, hanya sekitar 2 persen yang digunakan untuk pembangkit listrik di Kalimantan. Lebih dari 70 persen diekspor dan 28 persen lainnya dikirim untuk kebutuhan listrik di Jawa dan Sumatera.
”Ini memprihatinkan. Rakyat Kalimantan yang menanggung kerusakan lingkungan akibat penambangan batu bara tidak banyak menikmati listrik. Bahkan, masih krisis listrik,” kata Berry.
Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak sependapat dengan Berry. ”Kami berharap ada peraturan yang bisa membuat sumber daya alam Kaltim dipakai untuk kebutuhan listrik sendiri,” katanya.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Kahar Al Bahri, berkomentar lebih keras. Menurut dia, sebaiknya izin penambangan batu bara yang sudah dikeluarkan dievaluasi sebab penambangan yang sudah berlangsung tidak saja merusak lingkungan, dengan meninggalkan sejumlah besar lubang-lubang raksasa, tetapi juga tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
”Pengamatan kami, pertambangan gagal meningkatkan perekonomian masyarakat, bahkan menyisakan lingkungan yang hancur. Sekitar 102.000 orang dari 204.000 warga Kabupaten Kutai Timur, misalnya, saat ini tergolong miskin. Padahal, di situ beroperasi satu perusahaan tambang batu bara dengan produksi 35 juta ton per tahun,” ujarnya.
Saat ini, lanjut Kahar, hanya 35 desa dari 135 desa di Kutai Timur yang dialiri jaringan listrik.
Pengamat ekonomi lingkungan dari Universitas Lambung Mangkurat, Udiansyah, senada dengan Kahar. Menurut dia, hasil produksi batu bara yang masuk ke daerah hanya sebagian kecil. ”Dari nilai produksi batu bara Kalsel yang mencapai Rp 22 triliun, untuk produksi 80-100 juta ton per tahun, yang menjadi pendapatan asli daerah (PAD) tidak sampai Rp 1 triliun,” katanya.
Belum teraliri listrik
Sejumlah data menunjukkan, di Kalimantan saat ini terdapat 2.103 desa (31,35 persen dari 4.605 desa) yang belum mendapat pelayanan PLN. Di Kaltim, yang mengeluarkan 1.180 kuasa penambangan (KP) batu bara, tercatat 577 desa yang tidak berlistrik. Di Kalsel (penerbit 400-578 KP) terdapat 222 desa yang masih gelap. Di Kalimantan Tengah (penerbit 427 KP) terdapat 777 desa yang tanpa listrik, sedangkan di Kalimantan Barat (yang mengeluarkan 40 KP) ada 527 desa belum terlayani PLN.
Minimnya listrik yang dialirkan PLN di Kalimantan memaksa sebagian masyarakat menyediakan dana untuk membeli bahan bakar minyak, oli, dan perawatan genset. ”Pengeluaran setiap bulan untuk listrik rata-rata Rp 600.000,” kata Poniso Suryo, Camat Rantaupulung, Kutai Timur. (WER/FUL/BRO/AHA)
43 Things Tags: Pertambangan, Ditertibkan, Ilegal, Kalimantan Selatan, Batubara, Minerba, Royalti, Pajak, Kawasan Hutan, Kehutanan LiveJournal Tags: Pertambangan, Ditertibkan, Ilegal, Kalimantan Selatan, Batubara, Minerba, Royalti, Pajak, Kawasan Hutan, Kehutanan Technorati Tags: Pertambangan, Ditertibkan, Ilegal, Kalimantan Selatan, Batubara, Minerba, Royalti, Pajak, Kawasan Hutan, Kehutanan
Label:
Berita
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar