Sabtu, 31 Oktober 2009
HASAN DAN HUTAN
09.04 | Diposting oleh
Unknown
Kabinet Indonesia Bersatu jilid II telah dilantik. Sebagian besar pengamat menyayangkan dominannya politisi di kabinet ini. Janji presiden untuk menempatkan lebih banyak profesional tak terwujud.
Presiden memercayakan Menteri Kehutanan kepada politikus. Agaknya Presiden percaya, departemen ini tak memerlukan pemimpin cakap teknis, cukup cakap politis. Ini menggambarkan, pembuat kebijakan negeri yakin, sektor kehutanan tak menghadapi soal teknis. Kalangan rimbawan(ti) Indonesia berkeluh kesah dengan kondisi ini. Tak layakkah rimbawan(ti) menduduki posisi Manggala Wanabakti (MWB) 1?
Masalahnya, apakah Departemen Kehutanan harus dinakhodai orang kehutanan? Bisa ya, bisa tidak. Namun, sebagai departemen teknis dan di tengah kompleksnya masalah kehutanan Indonesia adalah tuntutan yang wajar jika orang yang berkutat dengan soal kehutanan diharapkan menjadi nakhodanya. Jika tidak, menterinya pun akan belajar dari awal. Memang, keberhasilan sektor ini tak hanya ditentukan oleh siapa yang menjadi menteri. Nakhoda yang cakap merupakan faktor amat penting.
Tantangan
Departemen Kehutanan unik karena memiliki teritorial. Sebagai institusi, departemen ini memiliki kekuatan hukum untuk ?menguasai? dan mendayagunakan area hutan Indonesia. Namun, privilese ini tak sepenuhnya menguntungkan. Tantangan pengaturan kewilayahan kian membesar pada era otonomi daerah seperti sekarang. Wilayah kerja antara pusat dan daerah yang sering tak sepenuhnya dipahami, ditambah ego teritorial, sering membuat program-program kehutanan tak berjalan baik. Masalah konflik perizinan kegiatan usaha di Taman Wisata Alam Tangkubanparahu dengan pemerintah daerah (Kompas, 26/10) menjadi contoh nyata.
Aneka masalah lain juga menghadang, misalnya pembalakan dan menurunnya tutupan dan produktivitas hutan alam. Ujungnya, selain deforestasi, produksi kayu juga menuju ambang kematian. Belum lagi jika berbicara kehilangan kekayaan keanekaragaman hayati.
Transisi pemberian kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk mengurusi hutan produksi juga belum berjalan baik. Jangankan berdampak positif, hal ini bisa berujung kerusakan hutan yang lebih parah. Dekatnya jaringan pengusaha dan birokrasi di daerah memberi kesempatan para pemain yang tak layak ikut menebas hutan tanpa standar.
Pada tumpukan masalah ini, inisiasi pengembangan silvikultur intensif di hutan alam merupakan terobosan bagus. Janganlah konsep ini layu sebelum berkembang. Perbaikan hutan alam merupakan kunci kesinambungan kegiatan kehutanan negeri ini. Keinginan untuk mengatur wilayah kehutanan dalam perencanaan yang lebih integratif juga terlihat dari rencana pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 6/2007. Namun, sekali lagi, sinergi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi pokok penting keberhasilan program ini.
Kenyataan bahwa kemungkinan unit KPH ada di lintas administrasi (provinsi atau kabupaten/kota) amat membutuhkan koordinasi lintas pemerintahan. Maka, kepemimpinan Departemen Kehutanan dan koordinasi dengan daerah menjadi kunci keberhasilan program.
Selain itu, di tengah maraknya pembicaraan tentang perubahan iklim, hutan tropis kita seperti kembali primadona. Namun, jangan salah, kondisi ini bisa juga bermakna ganda. Di satu sisi ia menawarkan keuntungan, tetapi di sisi lain banyak hal yang harus dipertimbangkan.
Skema-skema mitigasi perubahan iklim yang lebih berpihak pada penyelamatan hutan tropis menjadi peluang besar. Ini menjanjikan peluang Indonesia untuk bisa menjadi pemain utama di pasar karbon dunia. Namun, dengan tudingan bahwa deforestasi hutan tropis menyumbang 20 persen peningkatan karbon atmosfer, kita bukan tak punya tanggung jawab sama sekali. Ketidakmampuan negara ini menunjukkan usaha nyata menyelamatkan hutan bisa beralamat pada terpinggirkannya Indonesia pada pentas negosiasi iklim.
Skema yang berkembang, terutama yang terkait hutan, bersifat hadiah dan hukuman. Ia bukan cek kosong. Apalagi saat ini rezim perubahan iklim masih dikuasai negara maju. Pertemuan para pihak di Kopenhagen, Denmark, akhir tahun ini jadi ujian pertama Departemen Kehutanan mendesakkan agenda penyelamatan hutan sebagai bagian utama paket perubahan iklim.
Karena itu, tak berlebihan jika pelaku kehutanan dan rakyat Indonesia berharap menteri baru mampu berbuat banyak, tak hanya menjadikan MWB 1 sebagai sapi perah parpol. Kita hanya bisa menyampaikan semoga hutan di bawah pimpinan Zulkifli Hasan menjadi ahsan (lebih baik).
Selamat bekerja!
Yansen Dosen Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu; Australian Leadership Award Fellow
Kompas, Kamis, 29 Oktober 2009
Presiden memercayakan Menteri Kehutanan kepada politikus. Agaknya Presiden percaya, departemen ini tak memerlukan pemimpin cakap teknis, cukup cakap politis. Ini menggambarkan, pembuat kebijakan negeri yakin, sektor kehutanan tak menghadapi soal teknis. Kalangan rimbawan(ti) Indonesia berkeluh kesah dengan kondisi ini. Tak layakkah rimbawan(ti) menduduki posisi Manggala Wanabakti (MWB) 1?
Masalahnya, apakah Departemen Kehutanan harus dinakhodai orang kehutanan? Bisa ya, bisa tidak. Namun, sebagai departemen teknis dan di tengah kompleksnya masalah kehutanan Indonesia adalah tuntutan yang wajar jika orang yang berkutat dengan soal kehutanan diharapkan menjadi nakhodanya. Jika tidak, menterinya pun akan belajar dari awal. Memang, keberhasilan sektor ini tak hanya ditentukan oleh siapa yang menjadi menteri. Nakhoda yang cakap merupakan faktor amat penting.
Tantangan
Departemen Kehutanan unik karena memiliki teritorial. Sebagai institusi, departemen ini memiliki kekuatan hukum untuk ?menguasai? dan mendayagunakan area hutan Indonesia. Namun, privilese ini tak sepenuhnya menguntungkan. Tantangan pengaturan kewilayahan kian membesar pada era otonomi daerah seperti sekarang. Wilayah kerja antara pusat dan daerah yang sering tak sepenuhnya dipahami, ditambah ego teritorial, sering membuat program-program kehutanan tak berjalan baik. Masalah konflik perizinan kegiatan usaha di Taman Wisata Alam Tangkubanparahu dengan pemerintah daerah (Kompas, 26/10) menjadi contoh nyata.
Aneka masalah lain juga menghadang, misalnya pembalakan dan menurunnya tutupan dan produktivitas hutan alam. Ujungnya, selain deforestasi, produksi kayu juga menuju ambang kematian. Belum lagi jika berbicara kehilangan kekayaan keanekaragaman hayati.
Transisi pemberian kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk mengurusi hutan produksi juga belum berjalan baik. Jangankan berdampak positif, hal ini bisa berujung kerusakan hutan yang lebih parah. Dekatnya jaringan pengusaha dan birokrasi di daerah memberi kesempatan para pemain yang tak layak ikut menebas hutan tanpa standar.
Pada tumpukan masalah ini, inisiasi pengembangan silvikultur intensif di hutan alam merupakan terobosan bagus. Janganlah konsep ini layu sebelum berkembang. Perbaikan hutan alam merupakan kunci kesinambungan kegiatan kehutanan negeri ini. Keinginan untuk mengatur wilayah kehutanan dalam perencanaan yang lebih integratif juga terlihat dari rencana pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 6/2007. Namun, sekali lagi, sinergi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi pokok penting keberhasilan program ini.
Kenyataan bahwa kemungkinan unit KPH ada di lintas administrasi (provinsi atau kabupaten/kota) amat membutuhkan koordinasi lintas pemerintahan. Maka, kepemimpinan Departemen Kehutanan dan koordinasi dengan daerah menjadi kunci keberhasilan program.
Selain itu, di tengah maraknya pembicaraan tentang perubahan iklim, hutan tropis kita seperti kembali primadona. Namun, jangan salah, kondisi ini bisa juga bermakna ganda. Di satu sisi ia menawarkan keuntungan, tetapi di sisi lain banyak hal yang harus dipertimbangkan.
Skema-skema mitigasi perubahan iklim yang lebih berpihak pada penyelamatan hutan tropis menjadi peluang besar. Ini menjanjikan peluang Indonesia untuk bisa menjadi pemain utama di pasar karbon dunia. Namun, dengan tudingan bahwa deforestasi hutan tropis menyumbang 20 persen peningkatan karbon atmosfer, kita bukan tak punya tanggung jawab sama sekali. Ketidakmampuan negara ini menunjukkan usaha nyata menyelamatkan hutan bisa beralamat pada terpinggirkannya Indonesia pada pentas negosiasi iklim.
Skema yang berkembang, terutama yang terkait hutan, bersifat hadiah dan hukuman. Ia bukan cek kosong. Apalagi saat ini rezim perubahan iklim masih dikuasai negara maju. Pertemuan para pihak di Kopenhagen, Denmark, akhir tahun ini jadi ujian pertama Departemen Kehutanan mendesakkan agenda penyelamatan hutan sebagai bagian utama paket perubahan iklim.
Karena itu, tak berlebihan jika pelaku kehutanan dan rakyat Indonesia berharap menteri baru mampu berbuat banyak, tak hanya menjadikan MWB 1 sebagai sapi perah parpol. Kita hanya bisa menyampaikan semoga hutan di bawah pimpinan Zulkifli Hasan menjadi ahsan (lebih baik).
Selamat bekerja!
Yansen Dosen Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu; Australian Leadership Award Fellow
Kompas, Kamis, 29 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar