Sabtu, 24 Oktober 2009
Kebun Sawit Perparah Banjir
22.05 | Diposting oleh
Unknown
BANJARBARU, BPOST - Ahli Ekologi Fakultas Kehutanan Unlam, Kartasirang, menilai banjir yang terjadi di Tanah Laut (Tala) dan Tanah Bumbu (Tanbu) disebabkan kritisnya daerah aliran sungai (DAS).
"Di wilayah Kintap dan Sebamban terdapat dua DAS yakni Sungai Jorong dan Sungai Satui. Berdasarkan analisa, kedua DAS itu kondisinya kritis," ujar Kartasirang kepada BPost, Rabu (27/8).
Pada kedua DAS itu, yang masih berhutan --wilayah dengan tanaman pohon layaknya hutan-- hanya sekitar 12 persen. Sehingga, saat curah hujan tinggi, sungai tidak mampu menampung air.
Data BPDAS Banjarbaru menyebutkan lahan kritis di Tala mencapai 324.379,7 hektare. Sedangkan untuk Tanbu seluas 467.073,2 hektare. Lahan kritis terbesar ada di Kotabaru, 836.539,2 hektare.
"Ketiga daerah itu sangat rentan terhadap bencana alam, khususnya banjir," kata Kartasirang.
Ironisnya, kondisi yang telah terjadi lama itu kurang mendapat perhatian Pemprov Kalsel. Makanya tiga daerah itu langganan banjir.
Faktor lain makin kritisnya DAS adalah pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran. Kartasirang mengatakan semestinya, pembukaan lahan perkebunan tidak diperbolehkan sampai ke pinggir sungai. Sesuai ketentuan, untuk sungai besar harus disisakan kawasan hutan 200 meter sampai bibir sungai dan sungai kecil 50 meter.
"Kenyataannya, pembukaan lahan perkebunan sawit sampai ke bibir sungai sehingga tidak ada penahan banjir," ujar ketua Forum DAS Kalsel itu.
Kalangan aktivis lingkungan menduga hal serupa. Menurut Koordinator Save Our Borneo (SOB), Nordin, sebanyak 80 persen kerusakan hutan di Kalimantan disebabkan ekspansi perkebunan kelapa sawit. Sedangkan sisanya disebabkan pembukaan pertambangan dan penyebab lainnya.
Dari luas Kalimantan yang mencapai 59 juta hektare, laju kerusakan hutan mencapai 864 ribu hektare per tahun atau 2,16 persen.
Kalsel memiliki laju kerusakan paling parah, meski luasannya relatif kecil. Seluas 66,3 ribu hektare hutan musnah per tahun dari total luas wilayah hutan sekitar tiga juta hektare.
Kartasirang juga menilai pertambangan batu bara tidak terlalu besar ikut andil sebagai penyebab banjir. Hal ini dikarenakan tambang tidak terlalu luas membuka lahan, di samping itu juga meninggalkan lubang.
"Meski begitu, tambang batu bara tetap berperan mempercepat pendangkalan aliran sungai," katanya.
Topografi
Pendapat tak jauh berbeda dilontarkan Dosen Fakultas Kehutanan Unlam Udiansyah.
"Lahan terbuka secara teoritis menyebabkan sedimentasi pada sungai karena mudah erosi. Ketika hujan turun dengan intensitas tinggi memicu banjir karena sungai yang seharusnya jadi penampung, dangkal karena sedimentasi," ucapnya.
Udiansyah yang pernah melakukan penelitian masalah banjir di kawasan Tanbu dan Tala mengatakan, lima atau sepuluh tahun mendatang kondisi daerah-daerah itu kian parah. Selain topografi yang berubah, kawasannya di daerah rendah.
Ancaman banjir serupa akan terjadi di kawasan rendah lain di Kalsel, terutama yang dekat aliran sungai seperti Tapin, Tabalong dan Banjar.
"Tahun 2006, banyak yang mengungsi. Tahun 2007 juga bulan Juli. Sekarang di Agustus 2008 cukup besar,"ujarnya.
Agar tidak jadi ancaman serius, Udi meminta pemerintah segera membuat gorong-gorong di pingggir jalan negara atau provinsi, khususnya di kawasan rawan banjir sebagai solusi jangka pendek. Jangka panjangnya segera dipikirkan cara mengembalikan kondisi hutan seperti semula sebagai kawasan resapan air.
Audit Lingkungan
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel pun merekomendasikan pemerintah daerah segera mengaudit lingkungan perusahaan pertambangan.
"Sudah saatnya, Pemkab Tala dan Tanbu juga Pemprov melakukan audit lingkungan di daerah tambang," kata Manajer Kampanye Walhi Kalsel, Rahmat Mulyadi.
Menurut dia, tingginya curah hujan tidak bisa menjadi alasan terjadinya banjir. "Apalagi, BMG jauh-jauh hari telah memprediksi global warming yang disertai perubahan cuaca sewaktu-waktu dapat terjadi," katanya.
Sebelum telanjur lebih parah, pertambangan di Kalsel sudah saatnya ditata ulang. Bahkan, kalau perlu pemerintah daerah harus menghentikan penerbitan izin pertambangan. "Terlebih penerbitan izin pinjam pakai di lahan hutan," katanya. (ais/nda/niz)
Sumber: digilib-ampl.net
LiveJournal Tags: Sawit, Kerusakan Hutan, Lingkungan, Dampak Technorati Tags: Sawit, Kerusakan Hutan, Lingkungan, Dampak 43 Things Tags: Sawit, Kerusakan Hutan, Lingkungan, Dampak
"Di wilayah Kintap dan Sebamban terdapat dua DAS yakni Sungai Jorong dan Sungai Satui. Berdasarkan analisa, kedua DAS itu kondisinya kritis," ujar Kartasirang kepada BPost, Rabu (27/8).
Pada kedua DAS itu, yang masih berhutan --wilayah dengan tanaman pohon layaknya hutan-- hanya sekitar 12 persen. Sehingga, saat curah hujan tinggi, sungai tidak mampu menampung air.
Data BPDAS Banjarbaru menyebutkan lahan kritis di Tala mencapai 324.379,7 hektare. Sedangkan untuk Tanbu seluas 467.073,2 hektare. Lahan kritis terbesar ada di Kotabaru, 836.539,2 hektare.
"Ketiga daerah itu sangat rentan terhadap bencana alam, khususnya banjir," kata Kartasirang.
Ironisnya, kondisi yang telah terjadi lama itu kurang mendapat perhatian Pemprov Kalsel. Makanya tiga daerah itu langganan banjir.
Faktor lain makin kritisnya DAS adalah pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran. Kartasirang mengatakan semestinya, pembukaan lahan perkebunan tidak diperbolehkan sampai ke pinggir sungai. Sesuai ketentuan, untuk sungai besar harus disisakan kawasan hutan 200 meter sampai bibir sungai dan sungai kecil 50 meter.
"Kenyataannya, pembukaan lahan perkebunan sawit sampai ke bibir sungai sehingga tidak ada penahan banjir," ujar ketua Forum DAS Kalsel itu.
Kalangan aktivis lingkungan menduga hal serupa. Menurut Koordinator Save Our Borneo (SOB), Nordin, sebanyak 80 persen kerusakan hutan di Kalimantan disebabkan ekspansi perkebunan kelapa sawit. Sedangkan sisanya disebabkan pembukaan pertambangan dan penyebab lainnya.
Dari luas Kalimantan yang mencapai 59 juta hektare, laju kerusakan hutan mencapai 864 ribu hektare per tahun atau 2,16 persen.
Kalsel memiliki laju kerusakan paling parah, meski luasannya relatif kecil. Seluas 66,3 ribu hektare hutan musnah per tahun dari total luas wilayah hutan sekitar tiga juta hektare.
Kartasirang juga menilai pertambangan batu bara tidak terlalu besar ikut andil sebagai penyebab banjir. Hal ini dikarenakan tambang tidak terlalu luas membuka lahan, di samping itu juga meninggalkan lubang.
"Meski begitu, tambang batu bara tetap berperan mempercepat pendangkalan aliran sungai," katanya.
Topografi
Pendapat tak jauh berbeda dilontarkan Dosen Fakultas Kehutanan Unlam Udiansyah.
"Lahan terbuka secara teoritis menyebabkan sedimentasi pada sungai karena mudah erosi. Ketika hujan turun dengan intensitas tinggi memicu banjir karena sungai yang seharusnya jadi penampung, dangkal karena sedimentasi," ucapnya.
Udiansyah yang pernah melakukan penelitian masalah banjir di kawasan Tanbu dan Tala mengatakan, lima atau sepuluh tahun mendatang kondisi daerah-daerah itu kian parah. Selain topografi yang berubah, kawasannya di daerah rendah.
Ancaman banjir serupa akan terjadi di kawasan rendah lain di Kalsel, terutama yang dekat aliran sungai seperti Tapin, Tabalong dan Banjar.
"Tahun 2006, banyak yang mengungsi. Tahun 2007 juga bulan Juli. Sekarang di Agustus 2008 cukup besar,"ujarnya.
Agar tidak jadi ancaman serius, Udi meminta pemerintah segera membuat gorong-gorong di pingggir jalan negara atau provinsi, khususnya di kawasan rawan banjir sebagai solusi jangka pendek. Jangka panjangnya segera dipikirkan cara mengembalikan kondisi hutan seperti semula sebagai kawasan resapan air.
Audit Lingkungan
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel pun merekomendasikan pemerintah daerah segera mengaudit lingkungan perusahaan pertambangan.
"Sudah saatnya, Pemkab Tala dan Tanbu juga Pemprov melakukan audit lingkungan di daerah tambang," kata Manajer Kampanye Walhi Kalsel, Rahmat Mulyadi.
Menurut dia, tingginya curah hujan tidak bisa menjadi alasan terjadinya banjir. "Apalagi, BMG jauh-jauh hari telah memprediksi global warming yang disertai perubahan cuaca sewaktu-waktu dapat terjadi," katanya.
Sebelum telanjur lebih parah, pertambangan di Kalsel sudah saatnya ditata ulang. Bahkan, kalau perlu pemerintah daerah harus menghentikan penerbitan izin pertambangan. "Terlebih penerbitan izin pinjam pakai di lahan hutan," katanya. (ais/nda/niz)
Sumber: digilib-ampl.net
LiveJournal Tags: Sawit, Kerusakan Hutan, Lingkungan, Dampak Technorati Tags: Sawit, Kerusakan Hutan, Lingkungan, Dampak 43 Things Tags: Sawit, Kerusakan Hutan, Lingkungan, Dampak
Label:
Lingkungan Hidup
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar