Kamis, 11 Maret 2010

PostHeaderIcon Hikayat tentang tiga orang gadis bersaudara, ( Bagian ke 1)

Hikayat tentang tiga orang gadis bersaudara, ( Bagian ke 1)

Ketika saya menulis sesuatu yang mungkin mengandung sebuah nasehat, maka hal itu bukanlah bermaksud untuk menggurui apalagi untuk menghujat serta mencela sesuatu, melainkan hal itu bertujuan untuk mengingatkan diriku sendiri dan keluargaku serta sesama saudarayang seiman dan seagama

Hikayat ini telah banyak di ceritakan dan diriwayatkan oleh para ulama dan orang-orang shaleh, seperti oleh Abu Muhammad alias Abdul Haq dalam bukunya Al-Aqibat dan Uyun al-Akbar. Hikayat ini sendiri saya tuliskan kembali dari buku Rahasia Kematian, Alam Akhirat dan Kiamat karya Imam Al-Qurthubi yang diterjemahkan oleh Abdur Rosyad Shiddiq.



Diriwayatkan oleh al-Haris bin Nabhan,

“suatu hari aku menuju ke sebuah pemakaman, setelah mendoakan mereka, aku duduk termenung dan memikirkan para penghuni kubur yang ada di sekitarku, aku melihat mereka semua juga diam tak berbicara. Mereka bertetangga, tapi satu sama lain tidak saling mengunjungi. Mereka tinggal di perut bumi.

Aku berseru, ‘Hai para penghuni kubur! Jejak peninggala kalian di dunia sudah hilang. Tetapi, dosa-dosa kalian masih ada. Kalian tinggal di Negara bencana yang membuat kaki-kaki kalian bengkak.’ Setelah menangis aku lalu menuju ke sebuah cungkung di sanaa, dan aku pun tertidur dibawahnya.

Saat tidur itulah aku bermimpi melihat seorang penghuni kubur yang sedang dipukul dengan menggunakan sebuah godam. Aku melihat ia dirantai di lehernya, sepasang matanya berwarna biru, dan wajahnya hitam. Ia berkata, ‘celaka aku, kenapa ini harus terjadi padaku? Seandainya orang-orang yang masih hidup di dunia melihat apa yang aku alami ini, tentu mereka tidak mau melakukan maksiat kepada ALLAH. Aku di tuntut untuk mempertanggung jawabkan kenikmatan yang pernah aku salah gunakan. Kalau saja ada yang mau menolongku, atau mengabarkan keadaanku ini kepada keluargaku, tentu aku akan senang sekali.’

Aku bangun terperanjat. Hampir saja jantungku copot karena ketakutan atas mimpi itu. Lalu aku pulang kerumah. Malamnya aku tidak bisa tidur, karena terus menerus memikirkan mimpi itu. Esoknya aku kembali ke tempat tersebut. Aku berharap mudah-mudahan disana aku bertemu dengan seorang peziarah yang mau mendengarkan pengalaman mimpiku itu. Sampai di tempat itu, ternyata keadaan sepi. Tidak ada siapa-siapa. Aku tertidur dan bermimpi melihat orang itu lagi di seret dengan muka di tanah dan berkata, ‘aduh celaka aku! Apa yang sedang menimpaku ini? Usiaku cukup panjang, tetapi buruk benar amal perbuatanku sewaktu di dunia, sehingga membuat murka ALLAH. Sungguh malang nasibku jika Dia tidak berkenan mengasihaniku.’

Aku terbangun. Pikiranku hamper hilang oleh mimpi itu. Aku bingung. Aku lalu pulang. Setelah tidur semalam, esoknya aku kembali ketempat yang sama dan berharap yang sama seperti kemarin. Tetapi, lagi-lagi aku tidak mendapati siapa-siapa. Kembali aku tertidur dan bermimpi melihat orang itu tengah merangkak sambil berkata, ‘Orang-orang yang masih hidup di dunia benar-benar telah melupakan aku. Mereka tidak ada yang mau tahu kepadaku yang sedang diazab sepedih ini oleh tuhan yang murka kepadaku. Sungguh celaka nasibku jika Dia Yang Maha Pengasih tidak berkenan menolongku.’

Kembali aku terbangun dengan ketakutan. Aku sudah ingin pulang, namun tiba-tiba muncul tiga orang anak gadis. Aku segera menjauh dan bersembunyi, supaya mendengar apa yang akan mereka katakana. Gadis yang paling kecil maju menghampiri kubur itu. Ia berkata, ‘Assalamu’alaika, Ayah. Bagaimana tidur Ayah di situ? Bagaimana keadaan Ayah? Sepeninggalan Ayah, hidup kami sengsara dan menderita.’ Setelah itu lalu ia menangis meraung-raung. Giliran kedua kakanya yang maju. Setelah mengucapkan salam, mereka berkata, ‘Ini adalah kubur ayah yang sangat sayang kepada kami. Kami berdo’a semoga Allah berkenan mengasihi Ayah dan menghentikan azab-Nya, wahai ayah. Sungguh malang nasib kami. Kalau saja Ayah melihatnya, Ayah pasti merasa sedih. Kami diperlakukan oleh banyak kaum laki-laki yang kurang ajar, tanpa ada yang mau melindungi kami.’

Aku ikut menangis mendengar keluhan mereka itu. Maka, segera aku hampiri mereka. Setelah mengucapkan salam aku berkata kepada mereka, ‘Wahai anak-anak gadis, amal itu terkadang diterima dan terkadang di kembalikan kepada yang bersangkutan. Seperti apa amal bapak kalian yang sudah mati, sejauh yang aku dengar tidak membuatku sedih bahkan membuatku merasa ngeri.’

Mendengar omonganku itu serta merta mereka membuka wajah mereka

------------------------------------------

Powered by Telkomsel BlackBerry®

0 komentar:

Posting Komentar

Hanya Untuk Sementara