Kamis, 24 Desember 2009

PostHeaderIcon Kasus Ganti Kelamin

JAKARTA (SuaraMedia News) - Sikap keras Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap langkah Nadia Ilmira Arkadia mengganti statusnya menjadi perempuan menuai kritik pedas. Rekan gadis berusia 30 tahun itu menuding MUI diskriminatif.

“Kenapa kalau Dorce saja tidak terlalu dikritik. Itu artinya MUI diskriminatif,” ujar teman Nadia, Widodo Budidarmo saat berbincang di Jakarta, Jumat (25/12/2009).

Selain kasus Dorce, Widodo juga sempat menyebut contoh kasus lain yang serupa dengan nasib Nadia. Bahkan kasus-kasus tersebut terjadi sejak lama di Indonesia. “Sejak tahun 1970-an kan sudah ada kasus ganti kelamin,” sebutnya.

Pembelaan Widodo kepada Nadia lantas tidak berhenti pada kasus-kasus serupa. Dia pun lantas beranjak ke persoalan personal. Disebutkan Nadia sudah sejak lama berkeinginan berganti jenis kelamin menjadi perempuan.

Karena itu, dari aspek fisik maupun psikologis telah dirombak habis-habisan oleh Nadia. “Berbicara medis sudah selesai, pengadilan pun sudah mengeluarkan putusan. Lalu apa yang dikontroversikan? Semua sudah clear,” tandasnya.

Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tidak mempersoalkan pilihan Agus Widoyo (30) berganti status jenis kelamin menjadi perempuan.

Bahkan, keputusan tersebut tidak boleh dihalang-halangi karena merupakan hak individu yang harus dihormati semua pihak.

“Dari segi HAM, ya tergantung individu, kalau yang bersangkutan sudah tidak nyaman jadi laki-laki dia boleh saja menggunakan haknya untuk berganti jenis kelamin,” ujar Komisioner Komnas Ham Nur Cholish.

Cholish kembali menegaskan, pilihan berganti jenis kelamin merupakan hak individual, karena yang menjalani hidup adalah pribadi yang bersangkutan. “Kita boleh berpendapat apa pun,” ujarnya.
Keputusan Agus berganti jenis kelamin menjadi perempuan sempat menuai kontroversi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai perbuatan itu tidak selayaknya dilakukan. Rencananya MUI bakal melaporkan hakim Pengadilan Negeri Batang, Jawa Tengah, yang mengabulkan permohonan Agus ke Komisi Yudisial.

Sementara itu, Penolakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap dikabulkannya permohonan ganti kelamin Agus Widoyo oleh Pengadilan Negeri Batang, Jawa Tengah, salah satunya didasari kekhawatiran ganti kelamin jadi tren di Indonesia.

Padahal dari aspek agama ganti kelamin adalah sesuatu yang dilarang karena aspek mudharatnya lebih besar ketimbang manfaatnya.

“Jadi jangan seenaknya sendiri,” ujar Ketua MUI Amidhan.

Kiai Amidhan menegarai, fatwa MUI soal pengharaman ganti kelamin tanpa alasan yang kuat tidak sampai kepada para hakim di Pengadilan Negeri Batang serta pemohon penetapan gugatan, yaitu Agus Widoyo. Sehingga, perkara tersebut mendapat persetujuan dari para hakim.

“Jangankan soal ganti kelamin. Mau ganti ginjal atau menjual organ tubuh saja ada hukumnya. Tapi itu semua demi kesehatan yang bersangkutan,” terangnya.

“Jadi biar tidak sembarangan. Memang soal itu bisa dibawa ke ranah HAM, tapi jangan seenaknya,” tandasnya.

Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendesak Komisi Yudisial (KY) memeriksa hakim Pengadilan Negeri Batang, Jawa Tengah, yang telah mengabulkan permohonan Agus Widiyanto (30), mengubah jenis kelaminnya dari laki-laki menjadi wanita bernama Nadia Ilmira Arkadea.

MUI juga meminta aparat penegak hukum mendalami kasus ini, termasuk memintai keterangan pelaku operasi kelamin. “Para hakim yang memutuskan perlu ditelusuri lebih lanjut. Karenanya kami minta KY memeriksa para hakim tersebut,” kata Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni’am Sholeh di Jakarta.
Lebih jauh MUI juga meminta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Departemen Kesehatan (Depkes) agar menindak pihak tenaga medis dari rumah sakit dr Soetomo, Surabaya, yang melakukan operasi ganti kelamin.

Menurut Ni’am, tindakan melakukan operasi ganti kelamin yang dilakukan tenaga medis (dokter) jelas bertentangan dengan Kode Etik Kedokteran dan hukum agama. Dia yakin kode etik kedokteran yang ada saat ini tidak bertentangan dengan hukum agama, mengingat Kode Etik Kedokteran ini tunduk pada nilai-nilai moral dan hukum yang berlaku. “Harusnya dokter tahu soal kode etik ini,” katanya.
Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ali Musthofa Ya’kup menegaskan, mengganti jenis kelamin haram hukumnya. Dalam agama Islam, jenis kelamin hanya ada dua: laki-laki dan perempuan.

“Seseorang dikatakan laki-laki atau perempuan ditentukan hanya berdasarkan jenis kelamin, bukan dilihat dari fisiknya maupun psikologi, bukan pula dari penampilan dan sebagainya,” katanya. Ganti kelamin diperbolehkan dalam Islam sepanjang untuk melakukan penyempurnaan. Misalnya ada orang yang berkelamin ganda, tapi dari dua alat kelamin tersebut yang berfungsi alat kelamin laki-laki, maka dia tetap sebagai laki-laki. “Nah, kalau orang yang seperti ini ingin menyempurnakan sifat ‘kelakilakiannya’, maka boleh dalam agama Islam. Begitu juga sebaliknya,” katanya.

Jika ada orang yang terlahir laki-laki dengan memiliki alat kelamin laki-laki kemudian ingin diganti menjadi alat kelamin perempuan, itu hukumnya haram. “Khusus kasus Agus Widiyanto (Nadia), kalau memang dia terlahir sebagai laki-laki dan alat kelamin yang berfungsi kelamin laki-laki, maka hukumnya haram bagi Nadia untuk melakukan operasi,” katanya.

Ali kemudian mengungkapkan bahwa kasus seperti ini bukan lagi kasus yang baru, mengingat pernah terjadi pada 1970-an. “Tahun 1970-an pernah ada di Jakarta. Saat ini hakim mengabulkan pergantian status kelamin dari laki-laki menjadi perempuan. Awalnya namanya Vivian Rubianto kemudian diubah menjadi Vivian Rubianti. Jadi ini bukan hal baru,” katanya.

Anggota Komisi Yudisial (KY), Zainal Arifin, saat dikonfirmasi mengenai putusan PN Batang, mempertanyakan alasan hakim mengabulkan permohonan.

Menurutnya, sudah seharusnya hakim mencantumkan pasal-pasal apa saja dan menjelaskan dasar hukum yang mengatur perkara pergantian jenis kelamin. “Kalau sekiranya pasal yang dicantumkan tidak tepat, itu namanya hakim tidak benar dan harus ditindak,” kata Zainal.

Zainal mengaku KY hingga kini belum mengetahui secara pasti kasus pergantian jenis kelamin tersebut. Walau begitu dia tetap berjanji akan segera mempelajari, untuk selanjutnya melakukan tindakan terhadap hakim yang bersangkutan. “Yang pasti kami akan pelajari dulu. Apalagi MUI sudah mengeluarkan sikap begini,” katanya.

Di pihak lain, Humas PN Batang menegaskan bahwa PN Batang berani mengabulkan permohonan Nadia berdasarkan landasan hukum. Meski tidak dikenal di KUHP, PN mengabulkan permohonan ganti kelamin berdasarkan UU Hak Asasi Manusia. Undang-undang ini bisa digunakan karena sudah disepakati masyarakat internasional. Prof Djohansjah Marzoeki, yang dikonfirmasi soal sikap MUI, menandaskan bahwa dia melakukan operasi ganti kelamin semata-mata untuk meringankan derita manusia. “Ada yang menderita karena mengalami transeksual. Jadi ada manusia yang merasa badan tidak sesuai dengan perasaannya atau sebaliknya merasa perasaannya tidak sesuai badannya,” kata ahli bedah plastik dari RSU dr Soetomo ini kemarin.

Djohansjah yang mengoperasi Nadia 2005 silam mengaku baru akan mau melakukan operasi pergantian kelamin jika pasien mengalami kondisi tersebut. Jika tidak mengalami hal itu dia akan tegas menolak. Djohansjah juga mendasari tindakannya dengan indikasi dan kontraindikasi. ”Selama diperbolehkan dan tidak dilarang, dokter boleh melakukan suatu operasi,” ujarnya.

Saat ditanya apakah hal itu tidak melawan takdir? Dengan nada tinggi Djohansjah menjawab bahwa tindakan yang dia lakukan adalah meringankan penderitaan orang lain.

”Setelah operasi dia semakin menderita atau senang. Itu moral tinggi bukan?” katanya balik bertanya. Menolong penderita transeksual bagi Djohansjah merupakan perbuatan dengan etika moral tinggi. Terkait fatwa MUI, Prof Djohansjah menyatakan tidak ada masalah. “MUI tahun berapa itu? Dulu tidak apa-apa,” jawabnya. Selain itu, kedokteran tidak ikut campur dalam urusan MUI karena tidak ada kaitannya. “MUI itu untuk umatnya. Kalau kedokteran itu berpijak pada Etika Kedokteran, Undang-Undang Kedokteran, dan sebagainya.Tidak ikut-ikut MUI,” balas Prof Johansyah.

Nadia Gelar Tasyakuran

Sehari setelah disahkan PN Batang sebagai perempuan, Nadia Ilmira Arkadea (30), langsung menggelar tasyakur kemarin. Bertempat di kediaman Handoko Wibowo, seorang pengacara, di Cepoko Tumbrep, Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang, Nadia menyajikan kue tar dan beberapa aneka makan ringan untuk tetangga dan koleganya.

Sepanjang acara Nadia yang mengenakan baju merah muda itu terlihat semringah. Apalagi banyak tetangga, termasuk di antaranya anak-anak, turun meramaikan tasyakuran. Dengan status baru ini Nadia merasa lebih diterima masyarakat. Saat masih menjadi waria dia merasa dipandang masyarakat sebelah mata.

Sementara itu, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meyakini keputusan yang diambil RSU Dr Soetomo Surabaya melakukan operasi ganti kelamin terhadap Agus Widoyo tidak melanggar etika kedokteran.

Ketua MKEK IDI Agus Purwadianto menandaskan, pihak rumah sakit sebelum melakukan operasi sudah pasti melakukan proses assessment (penilaian) panjang dengan melibatkan beberapa dokter dan ahli kejiwaan. “Yang tidak boleh adalah kalau ada pasien yang minta ganti kelamin lalu dokter langsung melaksanakan tanpa melakukan assessment dulu,” katanya.

Agus mengungkapkan, dalam etika kedokteran, aturan boleh dan tidaknya berganti kelamin tidak disebutkan secara spesifik dan dalam aturan tertulis. Namun, teori etika kedokteran tidak hanya didasarkan pada perbuatan, tapi juga akibat yang baik bagi orang bersangkutan atau diistilahkan teleologi. Artinya, operasi ganti kelamin diperkenankan jika akibatnya baik bagi yang bersangkutan.

“Kalau sudah dikonfirmasi bahwa memang secara psikologis perasaan dia sebagai wanita dan orientasi seksualnya secara etis diyakini ‘berbeda’, lalu sudah dilakukan terapi ternyata tidak berhasil,maka berganti kelamin mungkin malah menolong,” papar Agus.

Meski kasus ini bukan pertama dan sudah terjadi sejak 1970-an, operasi ganti kelamin akan terus menjadi kontroversi. Karena itu, untuk menjembatani persoalan tersebut,IDI harus menyusun etikolega. “Kasus seperti ini sudah menyentuh ranah hukum, bukan lagi etika murni. Untuk keperluan ini harus dibentuk lagi aturan hukum yang berbasis etika,” tandasnya.

Sebelumnya Prof Djohansjah Marzuki dari RSU Dr Soetomo menegaskan bahwa dirinya melakukan operasi ganti kelamin semata mata untuk meringankan derita manusia yang merasa perasaannya tidak sesuai dengan badannya. Johansyah yang mengoperasi Nadia pada 2005 mengaku baru akan mau melakukan operasi pergantian kelamin jika pasien mengalami kondisi tersebut. Jika tidak mengalami hal itu, dia akan tegas menolak.

Selain itu, dokter yang sukses mengoperasi Dorce Gamalama ini juga mendasari tindakannya pada indikasi dan kontraindikasi. ‘”Selama diperbolehkan dan tidak dilarang, dokter boleh melakukan suatu operasi,’’ tandasnya.

Seperti diketahui, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempersoalkan keputusan Pengadilan Negeri (PN) Batang yang mengabulkan permintaan Agus Widoyo (30), untuk berganti kelamin menjadi wanita. MUI meminta Komisi Yudisial (KY) memeriksa hakim yang mengabulkan permohonan tersebut.

Selain itu, MUI juga mempertanyakan kode etik kedokteran sehingga tenaga medis RSU Dr Sutomo Surabaya berani melakukan operasi pergantian kelamin Agus yang kemudian berganti nama menjadi Nadia Ilmira Arkadea. Nadia mengakui keputusan mengubah jenis kelamin akan menimbulkan polemik. ”Saya menyadari pasti akan menimbulkan pro dan kontra. Saya juga tidak mengharapkan semua pihak mempunyai pemikiran yang sama,” ungkap Nadia kepada Seputar Indonesia tadi malam. Dia menilai, pernyataan miring muncul karena hanya melihat dari satu sisi yakni kondisi fisiknya.

Perjuangan panjang dan berliku yang dilakukannya hingga pengesahan di PN Batang tidak dijadikan pertimbangan. “Yang jelas saya bersyukur keluarga merestui keinginan ini. Orangtua dan saudara memberikan dukungan buktinya tidak mengucilkan saya meski tampaknya mereka (keluarga) belum siap dengan anggapan miring dari masyarakat,” ujarnya.(okz) http://www.suaramedia.com/

Technorati Tags: 43 Things Tags:

0 komentar:

Posting Komentar

Hanya Untuk Sementara